Level

Ada orang yang menggunakan indikator materi dalam pencapaian kualitas hidup. Makanya ada orang yang malu saat merasa kekurangan secara materi. Jangan lupa, tidak sedikit orang yang bisa merangkat dari dasar, dan jauh dari tumpuk-tumpuk materi. …

Ada orang yang menggunakan indikator materi dalam pencapaian kualitas hidup. Makanya ada orang yang malu saat merasa kekurangan secara materi. Jangan lupa, tidak sedikit orang yang bisa merangkat dari dasar, dan jauh dari tumpuk-tumpuk materi.

Materi itu bisa diperluas tidak hanya dalam konteks uang. Bisa lebih luas dari uang. Termasuk misalnya gelar.

Bagi orang tertentu, titel itu, atau gelar, sangat penting adanya. Titel atau gelar pendidikan adalah capaian strata tertentu dalam ilmu melalui lembaga pendidikan. Dengan demikian, seharusnya gelar atau titel tidak diberikan sembarangan. Apalagi melalui proses jual-beli dengan harga murah. Konon, titel itu juga bukan sesuatu yang dapat dibeli begitu saja. Lembaga pendidikan juga tidak boleh menjualnya dengan semena-mena, demi kepentingan tertentu. Masalahnya adalah terlalu mudah memperoleh gelar. Bukan pula ingin menyulitkan. Mudah dan menyulitkan adalah dua hal yang berbeda. Mereka yang menuntut ilmu tidak boleh dipersulit. Namun orang-orang yang hanya ingin memperoleh gelar dengan jalan mudah, bukan suatu jalan yang baik.

Bagi orang yang merasa gelar pendidikan atau titel akademik sebagai segala-galanya, maka mereka akan memuja kedudukan gelar. Orang yang tipe begini, untuk mendapatkan gelar, apapun mau dilakukan. Tak jarang, gelar lalu dibeli di pinggir-pinggir jalan yang memang banyak tersedia. Padahal bukan hanya di lembaga-lembaga pendidikan yang palsu, membeli pada lembaga pendidikan yang resmi pun dapat digolongkan sebagai pelacuran akademik. Namun siapa peduli. Ironisnya, ada orang yang memiliki banyak gelar, namun tidak semua hal mereka mereka. Bahkan seperti tak masalah jika yang berangkutan tak memahami apa sesungguhnya substansi ilmu dari gelar yang diperoleh itu.

Bagi sebagian yang lain, gelar itu dianggap sebagai representasi dari ilmu. Maka memakai gelar, bagi orang yang tipe demikian, sangat hati-hati dilakukan. Dalam banyak kesempatan ada yang takut gelar dipakai, kalau-kalau ilmunya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Orang yang tipe begini, merasa bahwa semakin ia menuntut ilmu akan terasa baginya berkekurangan. Dengan memperbanyak ilmu muncul kesadaran bahwa ilmu yang bersangkutan rupanya sangat minimal. Berbeda dengan yang pertama, justru orang harus tahu bahwa ia memiliki gelar –bahkan bila perlu semua gelar yang ada dan yang diperoleh dengan jalan miring. Itulah bedanya.

Seharusnya, seorang yang berilmu, tidak perlu merasa malu berkekurangan –dalam konteks ini berkekurangan ilmu. Seperti ilmu padi, semakin berisi akan semakin menunduk. Padi dibutuhkan banyak orang, namun ia terus direproduksi. Manusia yang memperlakukannya dengan berbagai harga. Konsep demikian sangat penting, dan kesadaran semacam ini tidak dimiliki oleh semua orang yang berpendidikan dan bergelar. Bahkan orang yang berpendidikan, tidak semua mereka menyadari bahwa ilmu itu harus dipergunakan sebagaimana mestinya, makanya dengan alasan itu menjadikan yang bersangkutan semakin menunduk.

Dalam hidup sebagai proses belajar, maka tahu yang satu dan belum tahu yang lainnya merupakan hal-hal yang wajar saja. Kesadaran yang sangat penting dalam hidup. Dalam hal ini tidak ada yang perlu digelisahkan jika orang lain tahu bahwa kita belum sampai pada titik tertentu. Dalam berbagai kesempatan, sudah seharusnya kita mulai menyadari adanya berbagai level itu. Kita harus sadar bahwa selalu ada level di atas level. Dengan mengagungkan diri sendiri sudah pada level tertentu, secara implisit sebenarnya adalah cermin bahwa yang bersangkutan masih belum berlevel.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment