Medsos

Era sekarang, perkataan sesuatu tidak hanya keluar lewat mulut secara langsung (ucap), melainkan bisa lewat layar sentuh atau ruang media. Dengan mulut keluar kata, maka lewat layar kaca, juga akan keluar kata yang bisa dibaca. …

Era sekarang, perkataan sesuatu tidak hanya keluar lewat mulut secara langsung (ucap), melainkan bisa lewat layar sentuh atau ruang media. Dengan mulut keluar kata, maka lewat layar kaca, juga akan keluar kata yang bisa dibaca. Mereka yang menangkap kata dari mulut sangat terbatas, sedang dengan bantuan berbagai media, termasuk media sosial, sebuah pesan bisa dibaca dengan sangat luas.

Mikrofon menjadi alat bantu yang menjadi terbatas sifatnya. Hanya didengar oleh orang di satu kawasan. Bayangkan betapa teknologi lain semisal media sosial, sebuah pesan bisa dibaca oleh manusia yang berada di mana saja.

Orang-orang yang akan mengirim pesan tertentu, hanya menggerankkan jari lalu menulis apa yang hendak disampaikan. Dengan jari pula, berbagai kiriman bisa diteruskan sedemikian rupa. Tidak terbatas. Atas dasar ini, menggunaan tidak sebatas jari sangat penting, terutama dengan melibatkan hati mereka yang menggunakan media tersebut.

Saya pernah punya pengalaman. Suatu waktu, saya mendapat kiriman sebuah foto original mengenai seseorang yang sudah tidak bernyawa. Posisinya tergantung. Bagi saya tetap ada pertanyaan, apakah menggantung atau digantung? Pilihan hanya dua itu. Bisa jadi bukan menggantung, melainkan digantung. Bisa jadi juga sebaliknya. Namun yang menyesakkan dada, karena foto demikian dikirim tanpa edit sama sekali. Orang yang mengambil atau memotret pertama dari foto itu, tentu tidak berpikir macam-macam. Pada saat itu, mungkin ia berharap foto demikian bermanfaat, antara lain untuk mengetahui keluarga korban. Atau bisa jadi untuk bukti jika penyebabnya tidak seperti yang diduga.

Masalah menjadi lain ketika yang melihat foto demikian tak hanya orang dewasa. Betapa tidak enak psikologis anak-anak ketika melihat foto yang demikian. Ketika saya masih kecil, saya ingat berhari-hari ketika mendengar ada orang yang meninggal. Mendengar saja begitu, apalagi jika saya melihatnya. Sepertinya hingga sekolah menengah pertama, saya jarang melihat wajah orang yang meninggal. Mungkin saja anak-anak sekarang tidak seperti saya, yang melihat orang yang meninggal normal saja demikian, apalagi yang tidak normal. Maka ketika saya melihat ada mayat pembunuhan ketika masa gelap dulu, saya yang masih anak-anai tidak berani keluar kemana-mana –kondisi baru agak normal ketika saya sekolah menengah atas.

Kondisi ini teringat saya akan ada satu rahasia yang diabai oleh manusia, sehingga kerapkali manusia berperilaku sesuka hati. Karena ini rahasia, mungkin kondisi ini yang menyebabkan banyak orang tidak langsung percaya dan melakukannya. Banyak orang yang lalai dan tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diingat. Satu hal yang pasti bahwa hidup dan kehidupan manusia ada batasnya.

Mengenai ujung kehidupan manusia, yang tidak diketahui manusia pada tiga rahasia pokok, kapan seseorang akan manusia, dengan cara apa manusia mencapai finis hidupnya, di tempat apa? Tiga hal ini yang banyak tidak dipersiapkan manusia, seharusnya karena ini rahasia, maka manusia mempersiapkan dengan sempurna. Yang terjadi justru kebalikannya.

Seorang manusia tidak tahu kapan waktu hidupnya di dunia akan berakhir. Sama sekali tidak bisa ditebak. Teman saya yang setelah jumpa, tiba-tiba kita dapat kabar telah tiada. Tadi kita lihat sehat, tiba-tiba dapat telepon dari teman bahwa teman kita itu jatuh karena tekanan darah tinggi, masuk rumah sakit, lalu mengubah hidupnya. Ada juga yang sedang kelihatan sehat, lalu meninggal tiba-tiba. Begitulah ketika waktu berakhir.

Selain waktu, mengenai cara. Kita juga tidak tahu apakah kita akan berakhir hidup di dunia dengan cara yang baik atau dengan cara yang buruk: membahagiakan atau justru menyesakkan dada. Pertanyaan ini juga terkait dengan pertanyaan lain: di mana kita akan finis. Mudah-mudahan kita tidak diambil nyawa kita di tempat-tempat yang tidak layak.

Makanya hidup harus kita persiapkan. Segala sesuatu harus kita persiapkan dengan smpurna. Waktu, cara, dan tempat kematian memang bukan urusan kita, namun bukan berarti itu menjadi alasan hidup tidak kita persiapkan secara sempurna.

Mereka yang menggerakkan jari, tidak kalah harus mempersiapkan psikologis dan mentalnya. Jangan mudah menggerakkan jari. Harus memikir dalam agar apa yang digerakkan jari kita, tidak menjadi beban bagi banyak orang yang lain.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment