Melibatkan Batin

Suatu kali, saya berhadapan dengan seorang penulis terkenal. Perempuan. Sering menggunakan pakaian mini. Bertemu di depan sebuah toko minuman. Ia lebih dulu menyapa dan memperlihatkan dua botol minuman beralkohol. Soal sapa-menyapa itu hal lain, karena …

Suatu kali, saya berhadapan dengan seorang penulis terkenal. Perempuan. Sering menggunakan pakaian mini. Bertemu di depan sebuah toko minuman. Ia lebih dulu menyapa dan memperlihatkan dua botol minuman beralkohol. Soal sapa-menyapa itu hal lain, karena toko ini terletak dekat tongkrongannya sejumlah penulis. Jika dijumpai seseorang, biasanya akan disapa atau menyapa. Siapa pun akan menganggap yang ada di sekitar itu orang-orang yang sama profesi dengannya.

Dua jam sebelumnya, saya mendengar prosesnya menulis dan menyelesaikan novel. Berkali-kali ia meyakinkan para peserta yang hadir bahwa harus dipisahkan betul-betul antara karya dengan apa yang dirasakan dalam batin. Apa yang dialami seseorang, menurutnya, sama sekali tidak akan berpengaruh ke dalam karyanya.

Dari penulis satu lagi, saya mendengar sebaliknya. Penulis ini lumayan produktif. Dibandingkan dengan penulis tadi, jumlah karya penulis ini jauh melebihi jumlahnya. Namun dalam jagad sastra, karya penulis awal itu justru lebih diperbincangkan di ruang-ruang koran mainstream. Tapi ini soal yang lain lagi. Catatan saya, barangkali untuk proses pembelajaran, bahwa kuantitas tidak selalu seimbang dan selaras dengan kualitas. Pun tidak berarti orang produktif, tidak bisa menghadirkan karya-karya bermutu. Kita bisa menilai sendiri dari karya penulis yang bisa diakses dari semu lini.

Konteksnya pada batin. Makanya saya sering bertanya apakah bisa seorang penulis, melakukan aktivitasnya dalam kondisi jiwa yang terganggu? Berdasarkan pengalaman masing-masing penulis, jawabannya mungkin akan berbeda-beda. Ada yang bisa melakukan apapun, dalam kondisi apapun, namun tidak sedikit, mereka yang menyerah saat suasana tidak memungkinkan mereka melakukan banyak hal.

Banyak penulis yang membutuhkan ketenangan, saat melakukannya. Sejumlah orang yang saya kenal, bahkan ketika menulis sesuatu, mereka seperti harus mengisolasi diri, mematikan telepon, dan duduk di tempat terpisah agar bisa berpikir secara mantap. Saat mereka menulis, jangankan untuk kita bertanya, mungkin suara telapak kaki di atas semen pun, akan membuat mereka terganggu.

Penulis selalu mencoba berpikir komprehensif. Sebelum menulis sesuatu, mereka umumnya sudah berpikir tentang rangkaian yang akan ditulisnya. Saat mereka sedang merajut potongan-potongan keinginan yang ingin ditulis tersebut, konsentrasi sangat dibutuhkan. Terpotong sedikit saja, dengan sela entah apa, maka mereka harus merajutnya lagi sedari awal.

Rangkaian dan potongan-potongan itulah yang akan mereka keluarkan pelan-pelan. Umumnya mereka akan keluarkan hal demikian dalam suasana yang tenang.

Orang-orang khusus harus memiliki suasana khusus, agar bisa melakukan proses tulis-menulis dengan baik. Menghasilkan karya yang konsisten, menurut orang yang seperti ini, tetap harus dimulai dengan keadaan yang memungkinkan mereka melakukannya.

Leave a Comment