Untuk hari-hari awal, banyak aktivitas yang berlangsung normal. Sebagaimana keinginan kita ingin melaksanakan banyak hal di bulan suci ini. Namun sering stamina untuk itu tidak kita rawat, sehingga apa yang ingin kita laksakan sepanjang Ramadhan, tiba-tiba berhenti di hari-hari awal. Jika kita analogi ke sepak bola, kita sudah banyak kalah sejak di menit-menit awal pertandingan.
Ada satu fenomena menarik di sejumlah tempat. Barangkali di tempat Anda juga ada fenomena demikian. Ada perubahan jumlah jamaah yang signifikan di sejumlah masjid dan meunasah (mushalla). Saya sebut sejumlah, karena ada masjid yang meunasah jamaahnya sudah stabil. Bulan Ramadhan atau bulan yang lain, jamaahnya sudah demikian. Sudah mantap. Sedangkan banyak tempat yang lain tidak demikian. Peningkatan tampak. Hal yang kemudian tergambar, betapa pada kondisi demikian, tempat shalat seperti harus diperbesar.
Di samping itu, pengalaman di tempat saya, sejak hari pertama shalat tarawih, jumlah kaum ibu lebih banyak dari kaum bapak. Saya pernah shalat di masjid yang tidak terlalu besar. Dalam setahun terakhir, ada posisi arah kiblat yang diukur kembali. Hal ini menyebabkan jumlah tempat ketika diatur shaf menjadi sedikit berkurang. Maksud berkurang tentu ketika dalam suasana puasa, atau shalat tertentu. pengalaman saya di tenpat itu, kondisi yang penuh itu, selain puasa, adalah shalat hari raya, dan shalat tertentu seperti shalat gerhana atau shalat istisqa’. Selebihnya belum pernah saya lihat penuh. Jadi di sini jelas terlihat, bagian halaman belakang, harus gelar karpet tambahan karena jamaah lebih banyak dari kapasitas.
Fenomena demikian juga sama di beberapa tempat. Tak hanya di tempat saya tinggal ini. Bahkan di kampung saya sekalipun, masjid penuh hanya saat momentum tertentu saja. Tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Ironisnya, ketika ada alasan lain yang sifatnya sangat materil, orang berlomba-lomba datang. Tentu ada alasan yang bisa dijelaskan dari berbagai aspek, namun alasan ini biarlah masing-masing pembaca saja yang mereka-reka sendiri. Sayangnya jika masjid ternyata dibangun makin megah di banyak tempat, namun hanya terisi sedikit saja ketika shalat jamaah. Kita bisa menyaksikan sepanjang jalan, kita temui masjid-masjid megah yang sudah selesai atau sedang dibangun. Berbagai kondisi ini penting untuk jadi bahan renungan secara mendalam bagi kita semua.
Saya ingin kembali ke fenomena di atas. Ketika Ramadhan tiba, kondisi di awal-awal yang banyak lalu berubah. Pelan-pelan seiring perjalanan waktu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak jamaah yang kendur ketika memasuki menit-menit utama –diibaratkan dalam sebuah pertandingan. Bahkan sudah malam keempat, semalam, jamaah sudah tinggal empat saf.
Syukur banyak tempat orang seperti berlomba-lomba memakmurkan masjid dan meunasah, dengan berbagai fasilitas. Pengelolanya berusaha menghadirkan sejumlah daya tarik, agar jamaah tidak berkurang. Usaha demikian banyak yang berhasil dilakukan. Banyak tempat yang sudah bisa mengontrol jumlah jamaahnya, atau bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu.
Ada yang menguat dan ada yang mengendur, saya teringat seperti dalam pertandingan sepak bola, di mana banyak tim tampak begitu bersemangat dan hanya luar biasa di menit-menit awal, namun sering lengah saat dimulai atau lebih lengah ketika dimenit akhir pertandingan. Tak jarang, pada menit-menit yang menentukan, banyak tim yang kehilangan fokus dan arah. Mereka justru merasakan kekalahan menyakitkan di menit-menit akhir itu.
Masalahnya adalah kelengahan itu sudah disadari sejak awal. Seharusnya, secara logika, dengan memahami akan ada kelengahan berdasar pengalaman sebelumnya, sudah dipersiapkan tenaga ekstra untuk mengantisipasinya. Ada tenaga yang disimpan, taktik yang diracik agar hingga menit akhir pun, selalu siap sedia.
Kondisi terakhir itulah yang dianalisis dan diterapkan oleh tim-tim tangguh. Mereka yang sudah bisa menjaga kestabilan mulai dari awal hingga akhir, karena sudah menyadari fenomena sebelumnya yang terjadi dalam timnya. Dengan belajar dari pengalaman masa lalu, mereka lalu memperbaiki kondisi mereka di masa sekarang dan yang akan datang.
Tim-tim yang demikian selalu bisa survive. Keberhasilan lebih cenderung dekat dengan mereka yang terus belajar dan memperbaiki diri.
Begitulah seharusnya. Hal demikian selalu harus menjadi renungan. Bahwa ketika Ramadhan menyediakan kompensasi lebih besar dan luar biasa justru pada hari-hari 10 terakhir, menggambarkan bahwa stamina untuk hari-hari akhir itu harus disiapkan. Lantas mengapa, justru pada hari 10 hari terakhir itulah orang-orang menjadi kendor semangatnya? Bukankah kita sudah tahu dari menit awal bahwa ketika nanti mendekati hari-hari akhir, semangat kita untuk mempertahankan stamina ibadah akan berkurang?
Lantas dengan memahami itu, bukankah kita seharusnya sudah tahu apa yang akan kita lakukan dalam menjaga stamina tersebut?
Itulah yang saya sebut, pentingnya menstabilkan stamina. Semangat yang ada dijaga sedemikian rupa, agar ia selalu terjaga sama sejak dari awal hingga nanti detik-detik akhir.