Korup itu bisa menyasar semua kalangan. Jangan dikira mereka yang berpendidikan tinggi tidak mungkin terkena virus ini. Jangan dikira mereka yang sedang berada di perguruan tinggi, terhindari dari perbuatan keji ini. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja. Makanya butuh intelektualitas dan ideologi. Korupsi tidak mungkin dibiarkan berkembang tanpa melibatkan bagaimana mentalitas sudah seharusnya, idealnya, memang menolaknya.
Senior saya sering bangga saat menerima pemberian-pemberian dari anak didik. Tidak sedikit para pendidik juga menghubungi para anak didik ketika membutuhkan sesuatu. Dianggap sebagai hubungan mutualisme yang seharusnya tidak boleh. Apalagi untuk kebutuhan yang besar dan membuat seseorang bisa ketergantuangan terhadap orang lain yang mengharuskan ada balas jasa. Tidak mungkin hal ini ditolak tanpa melibatkan mentalitas dan ideologi.
Secara sederhana, melalui kamus bahasa, ideologi dapat dimaknai sebagai satu bangunan sistem kepercayaan yang menerangkan dan membenarkan sesuatu hal yang dicita-citakan dan memberikan strategi untuk mencapainya. Kepercayaan itu sendiri melingkupi nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki hingga menjadi dasar dalam menentukan sikap dan perilaku.
Cita-cita antikorupsi, ketika dikaitkan dengan ideologi, maka cita-cita itu menusuk hingga sistem kepercayaan. Orang atau sekelompok orang yang antikorupsi dikuatkan oleh nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimilikinya bahwa sikap dan perilaku korupsi memang buruk. Salah satu ruang yang berpotensi untuk menggerakkan sistem kepercayaan semacam itu adalah perguruan tinggi. Tempat ini proses pendidikan, pengajaran, dan daur-ulangnya berlangsung. Kata-kata tinggi dari perguruan tinggi, menggambarkan tingkat pendidikan yang berbeda dari strata di bawahnya.
Pendidikan dan pengajaran tingkat perguruan tinggi dipandang sudah lebih mapan dalam memahami berbagai level ilmu dan pengetahuan. Oleh karenanya, perguruan tinggi paling potensial untuk melahirkan dan menancapkan ideologi antikorupsi, sekaligus melakukan perlawanan terhadap perilaku korupsi. Akan tetapi, potensi itu masih dihitung-hitung. Kenyataannya, perilaku korupsi justru banyak dilakukan oleh kaum terdidik.
Untuk melakukan kejahatan ini membutuhkan kepandaian, sehingga spesifikasi kejahatan korupsi termasuk dalam kategori kejahatan kerah putih. Angka yang ditampilkan dalam statistik korupsi sungguh mencengangkan. Pertama, angka korupsi, baik yang sedang disasar, diperiksa, maupun dipenjara, dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Kedua, ada kecenderungan semakin berubah orang, dengan semakin banyak tokoh terhormat dan orang bergelar pendidikan lebih tinggi yang menjadi pelaku.
Mengapa korupsi juga terjadi pada dua level ini? Mereka tahu bahwa korupsi itu tidak boleh, namun mereka tidak berdaya untuk tidak melakukannya. Dengan logika demikian, maka kelengahan dan ketidakberdayaan orang untuk tidak melakukan korupsi, sama sekali tidak disebabkan oleh tingkat pendidikan, melainkan ditentukan oleh intelektualitasnya. Intelektual berbeda dengan orang bergelar, karena intelektual tak semata menggambarkan tingkat pendidikan, melainkan turut melibatkan mentalitas untuk berpihak kepada kebaikan.
Potensi inilah yang memungkinkan untuk dilakukan oleh kampus untuk sepenuhnya bercita-cita lulusannya menjadi intelektual sepenuhnya –orang yang tidak melakukan korupsi bukan karena takut dihukum, melainkan karena ia sadar dan percaya yang dikuatkan oleh nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan, bahwa korupsi adalah perilaku buruk dan menghancurkan manusia dan peradabannya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.