Apa yang menggelisahkan saya akhir-akhir ini? Dunia sudah menampakkan berbagai anomali dengan situasi yang serba tidak pasti. Negara-negara yang mengklaim beradab, ternyata tidak seperti klaim. Kenyataan, bahwa mereka, tentu melalui tangan-tangan baja para penguasanya, bisa menjadi negara yang biadab. Kategori yang saya sebut terakhir ini pun dapat melalui ruang yang hard, tetapi tidak sedikit yang soft. Orang yang memegang kuasa suatu negara bisa jadi terlihat lembut, namun melahirkan kebijakan yang mematikan. Tipe yang demikian bisa dikategorikan sebagai soft. Kecenderungan terbaru adalah kesukaan orang-orang terhadap mereka yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang rasis.
Sekiranya kita kembali ke belakang, ingin menggambarkan hard sebagai satu-satunya bentuk perang, pemicunya bisa berserak. Perang besar dapat saja disebabkan oleh hal-hal kecil. Setidaknya pemicu sejumlah perang antar para sekutu, tidak semua dipicu oleh soal serius. Sama seperti kita yang hidup bermasyarakat, dimana sesekali ada keributan besar, setelah diselidiki, penyebabnya sangat sederhana. Kerusuhan massal kadangkala penyebabnya dari saling ejek. Perkelahian berdarah-darah antar pemuda kampung, mungkin saja karena ada yang merasa tersaingi untuk mendapatkan gadis di kampung mereka. Dari seseorang, lalu bergabung sejumlah orang, hingga akhirnya menjadi satu kerumunan besar. Kepentingan dalam kerumunan itu juga sangat beragam. Ada yang hanya ingin memetik keuntungan. Namun tidak sedikit, bergabungnya antara dendam lama dengan momentum baru.
Bukankah dalam ajaran agama Islam kita diingatkan hal yang paling sukar dilakukan oleh orang-orang yang sudah maqam tingkat tawadhu adalah memaafkan kesalahan orang lain? Persoalan kedua, ada yang sudah memaafkan, namun diulangi hal serupa. Seperti sebuah perang yang turut dipicu oleh saling ejek antar negara. Hal-hal sepele, lalu menjadi gabungan persoalan antara beberapa sekutu, membentuk blok, dan membentuk barisan kekuatan yang terasa hingga sekarang. Ada sejumlah orang berpendapat, bahwa potensi itu akan berakhir, seiring dengan bertumbuhnya satu kekuatan penting ekonomi dunia yang bernama kapitalis. Bagi saya tidak demikian. Negara-negara yang berkonflik, menyimpan bara yang tidak sedikit. Tinggal saja para penguasa mereka masing-masing sejauhmana bisa menanam bara itu agar tidak mendidih dalam cuaca apapun.
Ketika perang disalurkan, berbagai cara dilakukan. Kekuatan senjata, yang dibungkus dengan penyempurnaan alat sistem pertahanan, semuanya disempurnakan. Hampir semua negara di dunia saling berlomba untuk melakukan hal yang sama. Hanya beberapa saja yang tidak melakukan itu secara sempurna. Lantas bagaimana itu didayagunakan? Semua negara yang memiliki kekuatan pertahanan demikian, juga menyiapkan sumber daya untuk memanfaatkan. Tidak sedikit orang, pada posisi demikian, memandang orang lain selalu dalam konteks berjaga-jaga. Bahkan untuk negara-negara serumpun pun, sikap saling curiga itu tidak mungkin dihindari. Pada saat yang sama, bukan berarti fenomena bermesraan dengan negara yang tidak sama ideologi, terjadi dan bahkan melebihi dibandingkan kemesraan dengan bangsa serumpun.
Tidak masalah dari semua kekuatan untuk urusan demikian, sering berharap sikap yang sama. Ketika negara kita diejek oleh negara lain, tidak semua orang merasakan darahnya mendidih. Mereka yang kita duga mengejek sekalipun, mungkin maksudnya pun tidak demikian. Bukan sesuatu yang memprovokasi untuk berperang. Sebuah kapal perang yang melintas, lalu ada kontak yang dipahami oleh pengemudinya sebagai perintah, lalu kode yang dianggap oleh mereka yang melihat di darat, sebagai wujud dari mengajak perang. Bisa jadi demikian, pun bukan berarti tidak mungkin bermaksud sebaliknya. Lalu akankah ini akan menguatkan mentalitas perang?