Ajakan bermusyawarah, bukanlah sesuatu yang sederhana. Semuanya dimulai bagaimana orang bisa bercakap-cakap dengan sekelilingnya. Orang yang harus didahului dengan saling mengenal satu sama lain. Seseorang yang ditawari sebagai calon pemimpin, bagi lingkungan mereka, tentu mereka yang sudah dikenal perangainya lahir dan batin.
Secara lebih luas, proses kenal-mengenal bisa berefek lebih penting. Nenek moyang memperkenalkan konsep kepemimpinan yang bertanggung jawab menyeluruh bagi kehidupan warganya. Tidak sebatas administrasi kependudukan dan semacamnya. Seorang warga diperlakukan selayaknya keluarga mereka sendiri.
Apa yang Anda pikirkan ketika kehidupan kampung disederhanakan hanya dengan soal uang saja? Padahal bertahun-tahun tanpa keuangan yang melimpah pun, kondisi kehidupan yang bahagia diraih dengan mudah. Mengapa justru ketika ada sumber pendanaan, masalah justru bertambah dan berlipat-lipat? Pada kondisi krusial ini, musyawarah selayaknya menjadi jalan keluar untuk membicarakan semuanya secara terbuka.
Musyawarah sendiri berjalan kembang-kempis. Seorang tokoh penting, yang sedang memimpin sebuah organisasi, berdiri di depan peserta pertemuan untuk memilih pengurus baru. Saat itu, dengan lantang ia mengusulkan bahwa organisasinya akan menggunakan mekanisme musyawarah untuk mendapatkan pengurus baru organisasinya. Menurutnya, bahwa musyawarahlah yang merupakan kepunyaan asli bangsa Indonesia. Musyawarah untuk mufakat. Hal apapun, akan dimusyawarahkan.
Saya pribadi tidak kaget, walau dulu, organisasi ini termasuk salah satu yang sangat getol memperkenalkan konsep voting. Melalui tokoh-tokoh demikian pula, apa yang dinamakan voting itu kemudian diterapkan secara menyeluruh, dari pusat negara hingga pelosok kampung. Bahkan untuk memilih kepala jurong yang hanya beberapa keluarga saja, seolah wajib mempergunakan voting. Untuk organisasi yang calon tunggal, harus digunakan “pengantar” agar pemilihan menjadi sah. Ironis sekali, pemilihan yang hanya calon tunggal, tidak bisa dianggap sah, walau disepakati secara menyeluruh, karena peraturan berbicara begitu.
Kini, secara nasional, banyak daerah yang ternyata hanya memiliki calon tunggal. Kepala daerah di kabupaten atau kota tertentu, hanya maju satu pasang saja, dengan alasan mereka tidak yakin akan menang. Alasan lain, karena adanya dominasi. Hal yang selama ini dilupakan, faktor tekanan dari massa partai mayoritas. Peraturan menyebutkan tidak boleh ada kekerasan. Namun peraturan jarang menjangkau ragam corak kekerasan non-fisik. Memang secara fisik tidak ada ancaman apapun, tetapi secara non fisik, bahasa dan bahasa tubuh dapat dibaca sebagai sebuah ancaman dan/atau kekerasan.
Maka ketika ada tokoh penting yang berbicara tentang kembali ke “jiwa” bangsa, ada kecurigaan lain yang menyeruak. Apa karena sudah tidak ada lagi pesanan sehingga model asli bangsa Indonesia sudah bisa diterapkan lagi? Ada satu hal yang juga tidak boleh dilupakan, bahwa dunia sedang berubah. Banyak orang tidak ingin terjebak dalam proses yang bertele-tele. Dominan pihak ingin apapun berjalan cepat dan tuntas. Maka dalam sebuah pemilihan pengurus, hanya pemilihan dengan corak voting yang bisa menuntaskan dalam waktu yang cepat.
Proses pemilihan yang demikian, lalu merambah ke banyak hal lain. Tidak hanya sebatas memilih pemimpin organisasi. Proses penentuan melalui voting juga merambah untuk menetapkan hal-hal yang terkait dengan keputusan tertentu. Dalam ruang begini, untuk sebagian pihak, voting itu menjadi sesuatu yang keramat. Tidak boleh tidak. Katanya satu manusia akan mendapatkan satu suara. Tidak hanya untuk menentukan pemimpin, ternyata. Bahkan untuk menentukan keputusan banyak hal, juga tidak jarang dipergunakan voting.
Dalam organisasi batil yang dikelola dengan baik, ada kekuatan yang bisa menolak kebenaran dan menerima kebatilan dengan mekanisme voting. Sebaliknya ketika orang-orang yang berpihak pada kebenaran semakin sedikit, berpeluang mereka akan selalu kalah ketika dilakukan menurut jumlah suara. Apapun bisa menang, ketika jumlah semakin banyak.
Mudah-mudahan tidak akan ada suatu waktu, ketika jumlah yang banyak justru mendukung kebatilan.