Pasal Karet dalam Perdebatan Akademis

Ada sejumlah delik yang dapat digolongkan ke dalam kategori pencemaran nama baik dan penghinaan. Posisi sejumlah pasal yang mengatur tentang delik-delik tersebut disebut sebagai ancaman bagi kebebasan berpendapat (Purnamasari, 2024). Hal ini selaras dengan apa …

Ada sejumlah delik yang dapat digolongkan ke dalam kategori pencemaran nama baik dan penghinaan. Posisi sejumlah pasal yang mengatur tentang delik-delik tersebut disebut sebagai ancaman bagi kebebasan berpendapat (Purnamasari, 2024). Hal ini selaras dengan apa yang sudah diputuskan dalam sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji sebagian dari delik-delik ini.

Dalam KUHP, sejumlah pasal, antara lain Pasal 310 ayat (1) berisi tentang menuduh secara lisan, Pasal 311 terkait dengan menuduh yang dilakukan dengan tulisan atau gambar, Pasal 315 terkait penghinaan ringan, dan Pasal 317 mengaduan tentang pengaduan terhadap fitnah. Di luar KUHP, masih ada UU ITE dan UU Penyiaran. Dalam UU ITE, diatur soal mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sedangkan UU Penyiaran terkait dengan  menuduh sesuatu yang dianggap fitnah dilakukan dengan tulisan atau gambar.

Ada masalah dalam debat akademis, yakni pada soal bahwa sejumlah pasal terkait delik-delik itu ada yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, delik-delik dalam pasal-pasal tersebut sudah dianggap sebagai inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Masalahnya adalah delik-delik dari pasal-pasal tersebut tetap dimasukkan dalam UU ITE yang baru termasuk dalam KUHP yang baru. Delik-delik dari pasal-pasal yang dianggap bermasalah, meliputi pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal yang sebelumnya dianggap bermasalah –makanya Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk membatalkan—namun ia tetap dipertahankan dalam undang-undang yang baru.

Pasal-pasal yang dimasukkan kembali tersebut, dianggap bermasalah karena memperpanjang ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi.

Salah seorang akademisi-aktivis yang konsen terhadap kebebasan berpendapat, Herlambang Perdana Wiratraman menganggap pasal-pasal yang dimasukkan kembali dalam undang-undang baru tersebut sebagai ancaman kebebasan sipil –yang digolongkan sebagai undang-undang yang diskrimatif. Undang-undang ini mengadopsi apa yang disebutnya sebagai hukum draconian yang bisa memperburuh situasi demokrasi di Indonesia. Atas dasar itulah, Wiratraman sebagai akademisi di Universitas Gadjah Mada, menyebutkan perlunya dipikirkan bagaimana instrumen hukum dibuar sejalan dengan doktrin kebebasan sipil dan  berpendapat (Purnamasari, 2024).

Kebutuhan akan isntrumen tersebut tidak berlebihan. Apalagi misalnya dengan posisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah pernah membuat Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Hal itu idealnya bisa dijadikan pedoman oleh aparat penegak hukum untuk memberikan ruang bagi perlindungan kebebasan sipil, terutama saat menangani kasus-kasus yang terkait dalam pasal-pasal karet UU ITE. SNP yang dibuat Komnas HAM itu bisa dipedomani sehingga kasus tidak perlu berlarut sampai ke pengadilan. Proses berlarut-larut di pengadilan bisa menimbulkan rasa takut bagi publik untuk bersuara kritis (Purnamasari, 2024).

Dalam kehidupan bernegara, bersuara kritis itu sangat penting dalam menjaga proses pelaksanaan kekuasaan berjalan sebagai diatur dalam konstitusi. Sebagaimana posisi kebebasan berpendapat dan ruang kritik yang disediakan oleh negara kita sebagai negara hukum, seyogianya menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan di republik ini,

Dengan demikian, delik penghinaan –bahkan pencemaran nama baik, walau menimbulkan debat akademik hingga sekarang dalam bentuk pro dan kontra, namun jika dikembalikan ke doktrin dan konsep, batasan-batasan yang memungkinkan secara akademis selalu penting didiskusikan. Dengan tidak melupakan posisi pro dan kontra dalam perspektif keilmuan yang juga harus dilihat dalam konteks pengembangan hukum dan ilmunya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

(Sumber: Karikatur ICW)

Leave a Comment