Sejumlah akademisi mengajukan permohonan pengujian pasal penghinaan presiden dalam KUHP baru ke Mahkamad Konstitusi. Namun putusan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. Pengujian ini sendiri diajukan oleh Fernando Manullang dengan Nomor perkara: 7/PUU-XXI/2023. Kuasa hukumnya adalah Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Fernando Manullang merupakan dosen pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia tidak sendiri. Ada pemohon lainnya, yakni Dina Listiorini (dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta), seorang content creator bernama Eriko Fahri Ginting, dan seorang mahasiswa bernama Sultan Fadillah Effendi. Mereka semua mengajukan sejumlah pasal untuk diuji, yakni Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1).
Pasal 218 ayat (1) menegaskan: “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Sementara Pasal 240 ayat (1) menegaskan: “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Alasan tidak dapat diterima karena KUHP itu baru berlaku pada tiga tahun mendatang, setelah disahkan, yakni tanggal 2 Januari 2026. Alasan ini yang menyebabkan pasal-pasal yang digugat belum menimbulkan kerugian konstitusional, baik kerugian secara potensial maupun aktual. Yang dimaksud sebagai kerugian secara potensial adalah kerugian yang akan muncul di masa depan. Sedangkan kerugian aktual sebagai kerugian pada saat ini.
Kerugian konstitusional merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomo 11/PUU-V/2007. Kerugian yang dimaksud meliputi: (a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (c) kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajara dapat dipastikan akan terjadi; (d) adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (e) adanya kemungkinan bawa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, menguji Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk perkara ini, pengajuan permohonan dilakukan Biem Benjamin. Sementara Mahkamah diketuai Jimly Asshiddiqie, dengan anggota HM. Laica Marzuki, HAS. Natabaya, H. Achmad Roestandi, Harjono, HA. Mukhtie Padjar, I. Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, dan Soedarsono.
Saya ingin menggunakan pengujian tersebut, paling tidak untuk memahami bagaimana seharusnya penguasa negara memang tidak mungkin sepi dari kritik. Dalam negara demokratis, apa yang disebut sebagai kritik tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Justru tidak ada kritik dari warga, akan dipertanyakan kecintaan terhadap negaranya.
Konsep kritik harus dibedakan dengan hina. Maka kritik, bagi penguasa negara yang antikritik, akan diperlakukan pada posisi sebagai konsep hina. Padahal keduanya sangat berbeda. Ketiadaan konsep yang terukur pada menyerang “kehormatan atau harkat dan martabat”, atau dari “menghina”, dalam satu undang-undang, akan membuat penggunaannya juga tidak terukur. Itulah konteksnya muncul konsep pasal karet.
Negara harus menyiapkan keterukuran ini, sehingga penyampaian kritik jangan sampai berubah menjadi tuduhan menghina. Di pihak lain, konstitusi sudah mengatur hak lain yang tidak kalah penting, yakni kebebasan berpendapat. Hal ini juga sudah diatur dalam sejumlah undang-undang yang lain, seperti hak asasi manusia.
Dengan keadaan hukum tersebut, sudah seharusnya penguasa berhati-hati dalam menggunakan hukum. Sebelumnya, kehati-hatian tersebut juga harus muncul dari para pembentuk undang-undang.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
(Sumber karikatur: kompas.id)