Jika kemarin saya menulis tentang penerima bantuan sosial, saya selalu bertanya-tanya tentang verifikasi berlapis. Satu catatan saya yang mungkin bermanfaat bagi pelaksana, adalah soal data. Bukankah data penerima manfaat dari bantuan sosial itu sudah diverifikasi secara berlapis? Sesulit apa menentukan seseorang atau satu kepala keluarga (KK) itu masuk dalam kategori PKH atau tidak?
Saya tidak mau menjawab soal ini, karena masing-masing pelaksana dan penanggung jawab akan memiliki rasa yang berbeda. Tapi ketahuilah, saat saya duduk di satu tempat, saya berbicara dengan seorang awam di kampung, ia melukiskan begini: “Pak, masa sih sulit kali mendata. Di kampung kami semua orang pasti tahu kok yang mana layak dan mana yang tidak. Tapi yang sering terjadi karena hana mangat dan hana meuoh”.
Apa yang diungkapkan orang awam ini, makin menguat dugaan bahwa kita tahu semua hal tentang ketidakbenaran dalam proses, namun kita tidak mau tahu. Semua proses terjadi dengan kesadaran penuh bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Coba bayangkan, ketika stiker itu ditempel, terang-benderang sudah terlihat bagaimana kondisi rumah. Mengapa harus menunggu ditolak oleh tuan rumah karena perasaan malu?
Realitas sepertinya godaan lebih besar dibandingkan urat malu. Banyak bantuan yang akan diterima penerima bantuan PKH. Untuk mereka yang berhak, bukankah hal ini harus didukung?
Dulu ada program, misalnya, ibu hamil berstatus miskin/rentan akan menerima Rp2 juta. Anak usia dini dari keluarga miskin/rentan usia dini Rp2,4 juta/tahun/orang, usia SD Rp900 ribu, usia SMP 1,5 juta, SMA Rp2,4 juta, usia lanjut Rp2,4 juga, dan disabilitas Rp2,4 juta. Dalam satu keluarga hanya bisa diberikan maksimal empat orang. Di samping itu, penerima PKH juga akan menerima bantuan sembako Rp150 ribu/bulan/KK. Sekarang, entah masih ada? Atau barang kali semuanya sudah berganti dengan makan gratis.
Dalam programnya memang pada waktu itu, penerima manfaat PKH akan mendapat bantuan sembako dan ditempeli stiker keluarga miskin. Setiap rumah yang menerima bantuan, akan ditempal stiker ini. Sebelumnya diberikan, dan taka da. Lalu digunakanlah stiker dan ternyata, orang-orang sudah memiliki malu. Tapi tetap ada pertanyaan, apakah dengan demikian orang sedang berada pada kategori pubuet lagee na?
Godaan bantuan begitu kuat dan menjadi alasan orang yang tidak mau jujur. Bukan sekarang saja fenomena itu terlihat. Pada posisi terjepit saja, misalnya setelah tsunami. Saat korban tsunami ada yang belum dapat rumah, ternyata ada orang yang tidak korban tetapi mendapat bantuan, malah lebih dari satu. Coba bayangkan saat orang lain sedang tidak memiliki tempat tinggal, ada orang yang menyewakan rumah dinasnya untuk orang lain dalam rangka mencari pemasukan.