Ajakan hidup sederhana dan bersahaja penting untuk era ini. Trenyuh mendengar bagaimana anak muda dihinggapi penyakit mengejar popularitas. Betapa banyak anak-anak yang mengejar dan mau melakukan apapun asal mendapat tempat dalam ruang hiburan. Bahkan orang tua dari anak, yang tidak kalah menyedihkan dalam melakukan banyak hal yang justru tidak bisa dibayangkan.
Berapa banyak orang yang berhasil mempertahankan gaya hidup sederhana? Jawabannya ada, namun tidak banyak. Kebanyakan kita terjebak dalam mengimbangi gaya hidup dengan perkembangan kemampuan keuangan. Orang yang tiba-tiba memiliki banyak hal, berbeda dengan mereka yang sedari lahir memang sudah berpunya. Apalagi mereka yang kaya mendadak, ekspresinya jauh lebih hebat dibandingkan mereka yang sudah merasakan kehidupan demikian jauh sebelumnya. Dari berita, kadangkala terlihat betapa orang yang tidak siap menghadapi kemapanan, lalu bunuh diri. Padahal apa pasal? Ternyata seperti gurita. Orang yang tiba-tiba kaya mendadak, namun tidak mampu mengontrol diri, lalu terjebak dalam hal-hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Di luar itu, ada orang yang bisa hidup sederhana. Orang yang kaya berlipat, tetapi berpenampilan merakyat. Orang yang semacam ini, walau mungkin tidak banyak. Kita tahu seseorang itu berada ketika kita datang ke rumahnya yang mungkin lebih mewah dari rumah kita. Sedangkan di luar, mungkin terlihat biasa saja. Mobilnya juga biasa. Apalagi pakaian. Pokoknya dari tampilan, tidak terlihat ada yang luar biasa. Demikian juga ketika menyambut seseorang, juga merasa orang lain sama penting dan sama posisinya dengan dia. Orang semacam ini biasa sangat paham bahwa kekayaan itu pada dasarnya titipan. Sebagai titipan, maka seseorang yang tidak bisa menjaga kekayaannya dengan baik, akan berimplikasi kepada sesuatu yang buruk. Mereka yang bisa menjaga dengan baik hartanya, berpotensi akan mendapatkan akhir yang baik.
Hal lain yang dipahami sebagai titipan adalah bahwa apa yang dipunyai itu sebagai amanah, yang tidak perlu persetujuan yang bersangkutan untuk ada atau tiada. Ketika harta yang dipunyai, tiba-tiba sudah tiada. Sama ketika orang yang memiliki segalanya, tak butuh waktu lama untuk terhapus, seperti datangnya bencana yang menghabiskan banyak harta manusia. Mereka yang merasa apa yang mereka punya hanya titipan, maka tak ada sesuatu yang digelisahkan. Mereka akan memperlakukannya dengan baik, dan tak merasa kalap ketika harta sudah tiada dan menjadi sederhana seperti biasa.
Barangkali filosofi ini yang bisa dipahami oleh sebagian orang berada tetapi tidak menampakkannya secara berlebihan. Ada kesadaran bahwa sesuatu itu ada batas akhirnya. Mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi ketidakberadaan yang harus dilakukan. Banyak orang yang justru tidak siap kaya dibandingkan mereka yang siap. Maka tidak heran, ketika memiliki harta secuil, pola hidup lalu berubah dalam sekejap. Fenomena ini sebagai wujud dari ketidaksiapan menghadapi posisi berada. Orang yang gamang ketika ada harta, sehingga kadangkala tidak tentu arah dalam menghabiskannya. Orang-orang yang bermental demikian, lalu menghabiskannya di tempat-tempat yang tidak bisa dibayangkan.
Banyak orang yang tidak mempersiapkan diri menghadapi keadaan semacam ini. Orang yang tidak kita bayangkan akan melakukan sesuatu, ternyata ia bisa melakukannya. Orang yang kita pandang jauh dari kehidupan yang hina, ternyata ia berada dalam lingkungan demikian. Dan ironisnya, orang yang terjebak demikian karena tidak tahu bagaimana memanajemeni diri ketika berada dalam kondisi berada. Orang-orang kampung bilang, ketika seseorang sedang berada di atas. Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari hal yang demikian. Amin.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.