Apa alasan seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu? Jawabannya berbagai macam. Terutama aktivitas yang terkait dengan profesi. Orang melakukannya lebih disebabkan karena ingin mendapatkan bayaran. Untuk mendapatkan bayaran ini, ada orang yang melakukannya dengan bahagia, namun tidak sedikit melakukannya dengan menahan derita.
Orang yang berprofesi tertentu, tidak selalu menekuninya dengan bahagia. Tidak jarang, orang mendapatkan profesi yang tidak disukainya. Alasan praktis, karena di atas, seseorang ingin memiliki pendapatan. Risikonya adalah melakukan sesuatu dengan tidak bahagia, menyebabkan hasilnya juga berbeda.
Untuk kepentingan mendapatkan bayaran, masalah lebih mendalam adalah tidak berdaya bernegosiasi mengenai peran yang sesuai atau tidak dengan kepentingan masing-masing orang. Tidak jarang orang melakukan sesuatu yang sebenarnya bertolak belakang dengan keinginannya. Atau malah melakukan sesuatu yang sesungguhnya diyakini, tidak baik atau bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Hal inilah yang harus dijadikan alasan penting untuk tidak dijadikan harga sebagai segala-galanya. Banyak pilihan lain yang dapat dilakukan, yang tidak saja dari segi tatanan nilai sesuai, juga bisa dilakukan profesi dengan rasa bahagia.
Anda bisa melihat bagaimana sebagian mereka yang beraktivitas di dunia hiburan, yang sudah terlalu terbiasa dengan berbagai peran. Katanya, atas dasar tuntutan peran, mereka harus serba bisa, mau melakukan apapun –dengan alasan asal dibayar. Soal mampu atau tidak, satu hal, dan soal mau atau tidak, hal yang lain. Ada sebagian yang masih idealias, melakukan sesuatu sesuai dengan pilihan nurani –bahwa apapun yang dilakukan, bukan bayaran yang menentukan, melainkan kemampuan dan berterimaan bagi jiwa mereka.
Saya ingin melihat posisi pemeran yang pertama, bukan yang kategori disebut terakhir. Mereka yang pada posisi tersebut, sering menjadi host dan mendampingi berbagai peran. Pada waktu tertentu, kita melihat mereka mendampingi seorang ustadzah yang sedang menyampaikan ceramah. Tampil dengan baju koko yang bermerek. Akan tetapi pada waktu yang lain, dengan busana sebaliknya, sedang mendampingi mereka yang tampil dengan memamerkan pakaian dalam, sambil membawa acara, dengan serius sekali. Dalam acara anak-anak, ada pembawa acara yang demikian, tidak menyadari, karena memakai pakaian terlalu ketat dengan celana pendeknya, bahkan –maaf—mempelihatkan lekuk kemaluan.
Dengan berbagai peran, memungkinkan seseorang pembawa acara berada di banyak tempat. Dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi lain. Bahkan dalam waktu bersamaan, menjadi pengisi acara –tentu saja yang satu live dan yang satu record—di berbagai televisi. Ironisnya dan ini sangat disayangkan, dengan “penampakan” yang berbeda. Ada yang sedang mendampingi ceramah, ada yang sedang mendampingi pendadah moral.
Ini pembawa acara laki-laki, entah bagaimana pula pembawa acara berkelamin perempuan. Banyak acara yang laki-laki memakai jas lengkap, namun yang perempuan justru gemar memakai pakaian yang memperlihatkan hampir seluruh tubuhnya. Inilah dunia. Lalu orang-orang yang menonton menyambutnya dengan tiada gugat. Untuk orang-orang yang mengkritisi hal begini dikatakan gagap, namun untuk orang-orang yang mengkritik pakaian mereka yang sempurna, dikatakan sebagai pembaharu yang kritis.
Dunia ini memang luar biasa. Mereka yang melakukan peran di atas, tidak perlu merasa berdosa karena dengan alasan –atau yang sengaja dijadikan alasan pamungkas—profesi. Bagi mereka mungkin profesi hanya pantas jadi alasan aktivitas mereka, tidak cocok bagi yang lain. Sehingga ketika peran apapun, walau kontradiksinya jauh sekali, sudah tidak masalah. Alasan peran, dan menyembunyikan alasan bayaran, membuat semuanya seperti masuk akal.
Ternyata tipe orang-orang yang demikian tidak hanya ada di dalam tayangan-tayangan itu. Di luar itu, banyak orang yang rela dan ikhlas melakukan apapun, tetapi, asalkan dibayar. Apapun yang dilakukan, ditentukan oleh berapa rupiah yang akan menjadi imbalan. Kadang-kadang antara satu hal dengan hal lain tidak ada hubungan dan tidak nyambung. Tetapi sekali lagi, itu tak masalah, asal sesuai dengan bayaran. Itulah kerelaan, itulah keikhlasan.
Alasan demikian yang tidak dijadikan gaya hidup. Ada dua soal yang penting dalam hidup manusia, soal tatanan dalam berkehidupan, dan soal melakukan sesuatu dengan bahagia.