Ada hal mengerikan yang harus diwaspadai, yakni kemampuan orang untuk membedakan ruang publik dan ruang privat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, akan melahirkan banyak orang yang tidak mampu membedakan yang mana ruang untuk dirinya sendiri, dan yang mana ruang untuk orang lain yang lebih luas.
Wujud dari ketidakmampuan ini adalah menyebarluaskan apa yang seharusnya terbatas pada pribadi untuk khalayak umum. Tidak mengherankan berbagai fasilitas dan ruang paling pribadi dalam keluarga, dengan mudah disiarkan dan dihidangkan untuk banyak orang.
Secara lebih luas, orang-orang yang tidak mampu membedakan posisi privat dan publik itu, bahkan menyebarkan hal-hal yang dilakukan seharusnya untuk diri dan keluarganya. Semuanya seolah-olah demikian terbuka dan tidak berbatas apa yang milik pribadi dan mana yang bisa untuk publik.
Pada posisi yang demikian, seolah sudah tidak ada batasan ruang yang paling pribadi sekalipun. Semua sudah dianggap bisa disaksikan oleh orang-orang yang di luar pribadi.
Implikasi dari kondisi ini adalah ketidakmampuan untuk mengontrol kehidupan keluarga yang lebih luas. Orang tua akan melepas kontrol terhadap anak-anaknya apa yang dilakukan dengan fasilitas yang ada. Dengan teknologi informasi dan komunikasi, sejauhmana anak memanfaatkan untuk hal-hal yang akan berefek pada kehidupannya.
Tidak jarang para orang tua sudah tidak berusaha memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak. Melalui ruang pribadinya, seorang anak juga bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dibayangkan. Berbagai fasilitas ini, seharusnya orang tua sangat berperan dalam memastikan ia digunakan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan membebaskan bagi anak, ia sudah tidak mampu membedakan yang mana tujuan yang baik dan yang mana yang sebaliknya. Bagi anak yang tidak terkontrol, semua hal dilakukan dan dianggap bukan sesuatu yang tidak baik.
Di sinilah membutuhkan kearifan dalam memantau apa yang terjadi pada anak. Dengan memantau itu, kewajiban orang tua mengarahkan anak akan tercapai. Tidak boleh dilepaskan begitu saja apa yang ada dalam kehidupan mereka. Fasilitas yang diberikan tetap dalam pengawasan, karena tidak semua anak mampu memahami fasilitas yang dimilikinya itu. Dengan peran orang tua yang demikian, fungsi dari fasilitas yang disediakan, akan tercapai.
Orang tua harus memahami bahwa di luar sana, ada fakta yang miris. Pencabulan dan kekerasan terhadap anak terus meningkat. Secara statistik, peningkatan mudah ditelusuri secara nyata. Ada banyak media dan lembaga yang menghadirkan angka-angka. Dan yang lebih penting, peningkatan selalu terkait dengan kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas, ada angka yang naik. Secara kualitas, keadaan memperlakukan korban anak, semakin hari terus semakin tidak bisa diterima akal sehat.
Pencabulan dan kekerasan, sesungguhnya tidak hanya terjadi secara fisik. Hal itu juga terjadi melalui simbol dan bicara. Orang yang secara fisik mungkin tidak kasar, namun isi suara yang dikeluarkan sampai ke hulu hati. Atau bagaimana gerakan tubuh tertentu yang membuat anak harus mengurut dada.
Kondisi itu tidak terjadi dengan sendirinya. Kadang-kadang didukung oleh sikap kita yang mendua. Kita menolak hal demikian, namun seperti menerima begitu saja tayangan yang rasis dan penuh kekerasan. Ironisnya, mengapa tayangan harus mendapat perhatian lebih, karena selama 24 jam, dalam tayangan dipenuhi oleh cerita-cerita yang menebarkan kebencian di dunia anak itu.
Kita tidak terhenyak dan terkesan menyepelekan pada akar masalah. Kita terpaku pada akibat, dan sering abai terhadap sebab. Bagaimana tayangan menghantui dan menghancurkan kehidupan anak. Disadari atau tidak. Peduli atau tidak. Dianggap sepele atau tidak. Tayangan banyak yang tidak ramah terhadap anak. Bahkan dominan tayangan remaja, justru berpotensi menghancurkan perilaku anak. Hedonis dan kekerasan dalam berbagai cerita remaja yang berseragam sekolah, seperti sengaja dibiarkan. Ia direproduksi oleh pemilik modal yang haus uang dan ingin memperoleh keuntungan berlipat dengan mengorbankan kehidupan anak-anak. Lewat tayangan, mereka dibangun dengan rasa sinis, saling berperilaku negatif terhadap teman dan keluarganya, plus sikap hedonis.
Kita yang kritis juga kadangkala tidak adil. Untuk anak-anak orang miskin yang terpaksa dilibatkan untuk mencari uang, sangat cepat kita vonis dengan kata eksploitasi. Berbeda dengan anak-anak mereka yang terkenal, dijadikan dan dijual untuk menambah uang orang tuanya, tidak kita sebut eksploitasi. Bahkan mereka menggunakan iklan untuk menyiarkan kehidupan anak mereka, dan itu –entah sengaja atau tidak—mungkin kita anggap sebagai sesuatu yang biasa dan bukan eksploitasi –yang posisinya berbeda dengan mereka yang dibawa orangtuanya ke pasar untuk berjualan, dan semacamnya.
Ini kondisi kontradiksi, bahwa kita sadar perilaku pencabulan dan kekerasan selalu disebabkan banyak faktor, namun ketika sejumlah faktor secara langsung berpotensi untuk itu, tetapi menyenangkan hati kita, maka kita juga menerima begitu saja.
Kondisi harus kita ubah. Kita harus mulai dari para orang terkenal yang harus memperlakukan anaknya secara manusiawi. Tidak boleh semena-mena. Jangan karena ketika berhadapan dengan kepentingan modal dan pemodal, mengubah persepsi kita tentang apa yang dimasukkan dalam kategori eksploitasi itu.
Dalam berhubungan dengan anak atau bahkan kehidupan yang lebih luas, kita dituntut untuk lebih manusiwasi –dalam makna dan konsep yang lebih luas. Pemanusiaan harus dilakukan dalam berbagai lini, termasuk dalam hal memastikan apa yang didapatkan anak sesuai dengan tujuan kehidupan yang baik.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.