Tidak semua rumus matematika harus kita gunakan dalam kehidupan. Salah satunya dalam hal beri-memberi. Apa yang kita punya, ketika dibagi, pada dasarnya akan mengurangi jumlahnya. Rumus bagi berbagi itu begitu. Jumlah harta begini, ketika dibagi sekian, maka jumlahnya jelas akan berkurang. Tidak bisa tidak. Sama dengan rumus tambah menambah, dari harta sekian ditambah sekian, maka akan ada yang bertambah sekian.
Untuk urusan bagi berbagi, ada semangat yang berbeda. Semangat ini yang memungkinkan fisik harta yang kita punya, justru bukan berkurang, melainkan bertambah –bahkan bisa berlipat-lipat. Dengan berbagi, muncul semangat berusaha lebih besar, atau ketenangan batin yang luar biasa memungkinkan konsentrasi lebih besar dan hebat, akan memunculkan hasil yang lebih berlipat ganda.
Logika semacam ini sulit bisa dilakukan dengan dengan menghitung-hitung dan menggunakan rumus bagi berbagi. Ada rumus batin yang harus digunakan, yang membuat sesuatu yang kita punya tidak berhenti pada posisi stagnan.
Bagaimana orang memperlakukan orang lain, begitu juga dengan dampak dan efek yang mungkin kita dapat. Terlihat atau tidak. Implisit atau eksplisit. Berbagai makhluk memiliki cara berbeda melihat suasana ini. Bisa jadi, apa yang kita lihat, maksudnya tidak demikian. Cuma kita saja yang berpikir sesuatu dengan apa yang kita lihat itu.
Terbayang saya kondisi kucing yang ada di rumah. Di rumah orang tua, kami memiliki beberapa kucing. Awalnya, kucing itu berjenis anggora diberikan oleh seorang famili. Ketika diberikan masih kecil. Satu anak kucing berwarna kuring kuning, berjenis kelamin betina, dibawa pulang ke rumah hingga besar. Ia kemudian kawin dengan kucing kampung, hingga memiliki empat anak sekaligus. Dua anak ini sama warna seperti induknya. Satu berwarna coklat kehitam-hitaman. Sedangkan satu lagi burik krim dan coklat. Dari empat ekor, tiga yang bertahan. Satu yang warna kuring kuning mati. Tiga yang tersisa, dua ekor betina dan satu jantan. Yang paling aktif adalah kucing betina. Ketika siang, kucing ini bermain entah kemana. Sedangkan dua ekor yang jantan, sama-sama lebih sering berdiam diri di rumah.
Setelah saya perhatikan, ternyata ada kucing kampung yang berukurang lebih besar, di sekitar rumah. Seekor berwarga hitam-legam, dan satu lagi berwarna kucing pekat. Wajah kucing kuning kampung ini, kelihatan seram. Di wajahnya ada beberapa bekas luka –seperti bekas luka bertarung. Beberapa bulu kelihatan rontok. Jalannya sedikit pincang. Kucing ini yang sering mengejar kucing jantan di rumah. Makanya ia memilih diam di dalam rumah.
Kucing hitam ini memiliki hubungan dan kawin dengan kucing kuring coklat. Akhirnya memiliki lima ekor anak. Sayangnya, kelima ekor itu mati. Kucing ini kawin lagi dan mendapatkan lima ekor lagi anak, namun dua di antaranya mati. Tersisa tiga, dua berwarna hitam dan satu kuring coklat seperti induknya.
Ketika memiliki kucing ini, ada satu lagi kucing yang dibuang orang lain, mendekat ke rumah kami. Kucing kampung ini berwarna putih, namun ekornya terpotong, sepertinya karena sesuatu. Kucing ini, dengan tubuhnya yang pendek, hampir mirip dengan kelinci. Makanya namanya digabung, kucing kelinci.
Satu kucing, karena mungkin kalah bersaing dengan lawan-lawannya, memilih minggat dari rumah. Ia sering kami jumpai di pinggir simpang. Karena terlalu lama ia dipanggil dengan Goro ketika mau makan, ketika berjumpa, bila dipanggil dengan nama itu, ia akan mendekat. Tetapi, tetap ia tidak mau pulang ke rumah.
Jadi tersisa, hanya lima ekor saja. Yang menarik, dari tiga anak yang masih kecil, ada satu yang hitam selalu bengis ketika diberikan makan. Setiap ada yang menaruh makanan di piring, hanya ia yang boleh mendekat. Ia mencakar yang lain seandainya mendekat, dengan suara mengeong keras dan kukunya tajam keluar.
Empat kucing lain, termasuk induk dan kucing kelinci, memilih baru makan ketika ia sudah selesai. Mereka menunggu di samping si Itam makan terlebih dahulu. Perutnya langsung kelihatan buncit seandainya makan si Itam itu sudah selesai. Sedangkan keempat kucing tadi dengan sabar –seperti memahami ada di antara mereka yang tamak dan rakus. Dan mereka tidak melawannya. Mereka seperti mengatakan, “ya sudah, makan saja dulu!”