Entah darimana ungkapan kacang lupa pada kulitnya. Ungkapan ini dijadikan tamsil untuk mereka yang lupa pada keadaan. Seseorang yang sudah mendapat bantuan, dalam berbagai bentuk, tidak hanya terbatas pada materi, lalu lupa pada yang memberikan bantuan itu. Untuk posisi ini juga ada tuntutan timbal balik. Orang yang sudah memberi pun tidak etis menyebut-nyebut. Untuk bantuan sukarela, tidak boleh diingat. Namun untuk yang sifatnya utang, kedua pihak harus menjaga.
Ungkapan ini lahir karena berbasis pada realitas. Hal ini yang harus diperbaiki. Semua orang harus saling berpikir saling terkait. Hubungan tidak boleh terputus, bukan karena ada sesuatu hal, melainkan untuk jangka panjang, hubungan itu yang memperbesar rasa bahagia. Implikasi dari rasa bahagia luas sekali. Seseorang bisa melakukan apapun dengan kondisinya yang bahagia.
Posisi bahagia tidak ditentukan oleh seseorang yang memiliki materi yang banyak. Tidak juga karena familinya bertebar dan bertabur. Bahagia itu sangat ditentukan bagaimana kita menjalani hidup apa adanya. Termasuk tidak melupakan orang yang sudah berbuat baik, terhadap kita. Sebaliknya, untuk urusan berbuat jelek, tidak usah diingat.
Kenyataan bisa berbagai macam wujudnya. Kadang-kadang teringat, suatu keadaan dalam suasana sebuah versi kekerabatan. Singkatnya begini. Ada seorang atau beberapa orang kaya di satu kampung. Orang kaya ini, terutama yang dari segi materi tampak. Rumah besar dan mewah. Perhiasaan yang dipakai oleh diri dan anak-anaknya, biasanya melebihi dari yang dipakai orang lain. Demikian juga dengan kendaraan, bentuk dan jumlah, juga lebih dari orang lain di kampung itu. Ketika suatu masa di kampung belum ada sepeda, maka yang disebut orang kaya adalah mereka yang memiliki satu atau beberapa sepeda. Demikian juga ketika sepeda motor belum banyak, maka di rumah orang kaya yang antara lain itu sudah tersedia. Hingga mobil dan jenis-jenisnya kemudian.
Saya ingin mendudukkan dulu orang yang kaya, dengan versi demikian, bukan versi yang lain. Mungkin versi yang lain, bisa ada berbagai macam dan berbeda maksudnya. Orang yang kaya, bisa saja mereka yang tidurnya enak sekali. Ketika kita melihat orang yang bisa tidur pulas, seolah tiada beban, maka bisa jadi, orang demikian juga bisa dianggap lebih kaya dari orang lain. Orang kaya juga bisa dari orang yang tiada utang. Bisa jadi orang yang memiliki rumah mewah atau mobil bagus, ternyata memiliki pinjaman yang tidak sedikit di bank. Maka orang yang tiada utang itu, juga bisa digolongkan sebagai orang kaya.
Mendudukkan pengertian demikian, untuk memudahkan bagaimana memahami mengenai apa yang saya tulis. Orang kaya demikian, menurut saya, kalau di sekitar tempat tinggal kita, akan terasa. Saya sebut di belakang, bahwa satu versi kekerabatan, dalam suasana yang masih erat, ketergantungan antara satu orang atau keluarga dengan orang atau keluarga lainnya, terasa sekali.
Orang kaya adalah salah satu tempat bergantung itu –dalam arti duniawi (dalam arti ukhrawi bedakan bahwa tiada tempat bergantung yang sebenarnya melainkan Pencipta). Orang kaya dalam posisi ini, adalah sasaran tempat orang berkeluh kesah. Apapun kesulitan yang dialami, orang kaya menjadi orang pertama yang biasanya dikunjungi. Mau pinjam beras karena sudah tidak punya simpanan untuk makan keluarga, atau ingin pinjam uang karena tiba-tiba anak sakit. Dan sebagainya. Ketika berkeluh kesah, orang kaya sendiri menanggapinya beragam. Ada orang kaya yang santun, yang memberikan saja, walau tetap menagih, sekiranya lupa –atau pura-pura lupa dibayar. Namun ada orang kaya yang agresif, di mana ketika ada orang sudah tiba di pintu rumahnya, di pikirannya hanya ada satu: ada orang ingin berutang datang.
Demikianlah ketergantungan itu. Orang yang berhutang, akan memiliki persepsi khusus tentang orang kaya –walau untuknya apapun dikatakan. Ada keinginan untuk membela –kalau dalam debat kusir, minimal tidak akan melanjutkan pembicaraan tentang buruknya. Tentang orang saja begitu. Apakah untuk negara dan organisasi yang memberi utang kepada negara bisa tidak begitu? Jawabannya, bisa jadi, mungkin.
Kebaikan, menurut saya, tidak boleh dilupakan. Nilai dalam kehidupan, berdasar agama, pun mengajarkan untuk melupakan kejelekan orang lain terhadap kita. Barangkali melakukan hal itu, yang saya bayangkan akan bisa memperbesar potensi bahagia sebesar-besarnya.