Tahan Banting

Orang yang lebih senior, akan menyebut dengan istilah tahan banting. Tidak banyak mengeluh hanya karena sedikit tantangan dalam hidup. Tidak cengeng bila ada sedikit hambatan dalam mencapai titik tertentu dalam kehidupan. Orang yang memahami hidup …

Orang yang lebih senior, akan menyebut dengan istilah tahan banting. Tidak banyak mengeluh hanya karena sedikit tantangan dalam hidup. Tidak cengeng bila ada sedikit hambatan dalam mencapai titik tertentu dalam kehidupan. Orang yang memahami hidup adalah sebuah proses panjang sambil belajar.

Sejumlah buku biografi para tokoh, umumnya memperlihatkan bagaimana konsistensi tetap dijaga dalam memilih hal tertentu dalam hidup. Apa yang disebut bahwa hidup sebagai pilihan, tidak bisa dijadikan patokan. Mereka yang berjuang secara konsisten menempuh hidup, akan memperoleh hasil yang optimal.

Saya ingin bercerita bagaimana seorang teman yang dulu saya kenal. Sepuluh tahun yang lalu, anak ini bukan siapa-siapa. Saya ingat ketika aktif melakukan diskusi, ada seorang anak muda yang setiap hari bertugas meletakkan masing-masing gelas berisi kopi atau teh kepada masing-masing peserta yang hadir. Saya ingat, diskusi semacam ini memang jarang yang banyak. Jumlah peserta, paling banyak sekitar 15 orang. Itu sudah maksimal sekali. Orang-orang demikian, nyatanya memiliki tulisan rutin di media massa. Orang-orang yang rajin berdiskusi tentang berbagai isu aktual, lalu melatih kreativitas dalam menulis, biasanya akan berpeluang menghiasi kolom-kolom yang tersedia.

Tidak semua orang yang mengontrol analisis muncul dari ruang-ruang diskusi mewah. Tempat-tempat diskusi mereka sangat sederhana. Biasanya di tempat mereka banyak tersedia buku yang berserah sedemikian rupa. Pernah saya bertanya kepada seseorang, mengapa buku demikian berserak. Jawabannya sangat simpel dan jarang terpikir oleh kita, bahwa jika bukan tidak berserak, artinya buku tidak dibaca. Saya pikir benar juga. Makanya setiap kali datang, berbagai catatan dan buku berserak di mana-mana.

Di antara orang-orang itulah saya pertama melihat anak ini. Anak yang sekarang sudah lalu-lalang sebagai analisis televisi. Ketika bertemu, ternyata ia sudah ragu-ragu. Sebaliknya, saya mungkin karena ia yang sudah terkenal, jadi lebih mudah mengenalnya. Lalu kami berkesempatan berdikusi. Pembawaannya masih seperti dulu, tidak formal, setengah ceplas-ceplos. Orangnya sangat menarik, dan kalau wajah, ia mengaku sendiri, bukan wajah yang bisa diajak main sinetron untuk para kawula muda.

Sejak dulu, saya kalah bacaan dengan anak muda ini. Ia, dari dulu, bukan saja melaksanakan tugasnya mengatur teh atau kopi untuk peserta diskusi yang hadir. Selepas peserta diskusi pulang ke tempat masing-masing, ia berkesempatan mengatur kembali buku-buku dan bacaan yang berserak tersebut. Dalam kesempatan itu pula, ia berkesempatan membuka buku satu-satu, lalu mengejanya pelan-pelan. Pada waktu senggang, ia bertanya pula pada para profesor yang hadir. Dengan bekal itu, lalu ia menulis buku, sambil terus menyimak apa yang dibicarakan dalam diskusi.

Tahukah apa yang terjadi? Ternyata ia menjadi penulis buku yang produktif. Beberapa buku tergolong agak berat. Ia berhasil menulis isi diskusi dengan sempurna, pada saat tidak semua peserta diskusi tersebut mengikutinya dengan fasih. Sesekali ketika para peserta bertemu dan membahas karya secara bergilir, di saat itu pula ia sudah mulai muncul melalui karya-karyanya. Pada saat yang demikian, posisi dia sudah bukan lagi sebagai orang yang mengatur posisi gelas kopi dan teh, melainkan sudah menjadi pengulas isi pikiran yang hebat. Dengan jalan ini pula, banyak senior yang kemudian memberi rekom agar dia banyak berbicara di forum-forum resmi. Seorang anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan lanjut, tetapi dengan bekal besar di ruang diskusi, disertai semangatnya untuk ikut mendalami apa yang dibicarakan, ia menjadi seorang yang berisi. Jarang ada orang yang pada posisi demikian, bisa bersungguh-sungguh untuk mendapatkan dua keuntungan sekaligus: mendapat tempat untuk memenuhi kebutuhan fisik, sekaligus terisi dan bisa bereproduksi dalam kebutuhan batin. Generasi seperti ini yang seyogianya terus kita bentuk, agar lebih banyak tercipta generasi-generasi yang hebat.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment