Ini sebenarnya cerita lama, yang belum terverifikasi. Saya mendengar cerita ini dari ipar saya. Saat beliau bertugas di kampung yang saya ceritakan. Tapi hal ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun yang lalu.
Kabar dari satu kampung, tentang shalat tarawih di sini sangat khas. Seperti sedang tamasya, mereka melakukan tarawih dengan rasa senang, tidak ada yang tertekan. Mereka melaksanakannya dengan santai, tetapi tetap serius sebagai suatu ibadah. Santai yang saya maksudkan dari segi waktu dan prosesnya. Tidak kejar-kejaran.
Semua mereka membawa bekal yang cukup. Di sana, setelah empat atau enam rakaat, mereka beristirahat sebentar. Mereka yang batal wudhu akan mengambil kembali. Lalu dilanjutkan kembali. Bagi mereka tidak masalah dari segi waktu, jam berapa selesai. Tarawih yang 20 rakaat itu bisa selesai tengah malam.
Ibadah dengan rasa bahagia sangat penting bagi manusia. Bukan ibadah karena dikejar-kejar, atau bahkan karena ingin jadi sumber berita. Ibadah yang demikian, akan menjadi bumerang suatu saat nanti, bagi manusia itu sendiri. Bagaimana bisa melaksanakan ibadah dengan seenaknya sendiri. Intinya beribadah dengan penuh bahagia, biasanya akan membuat hasilnya luar biasa.
Rasanya beginilah ibadah itu. Tidak ada yang patut dikejar. Kualitas ibadah harus berlangsung sebanding dengan kuantitasnya. Bukan karena mengejar kuantitas lalu mengurangi kualitasnya. Keduanya harus sama.
Saya pernah mendapatkan satu fenomena lain yang menarik dan khas. Mungkin banyak tempat seperti di sini—ketika selesai shalat tarawih dan witir, mereka saling bersalaman satu sama lain. Tidak hanya dengan mereka yang duduk di kiri dan kanan. Melainkan berbanja dan saling menjabat tangan. Hal ini mengingatkan saya pada hari raya.
Lalu shalat tarawih sangat penting karena ia hanya ada dalam bulan penuh rahmat. Tidak ada diluar bulan ini. Posisi yang membuat masjid-masjid terasa sedikit perlu tambahan ruang ketika memasuki bulan puasa. Terutama di hari-hari awal. Namun seiring perjalanan waktu, semakin hari semakin berkurang. Setelah lima hari, berkurangnya jumlah terlihat jelas. Hanya sebagian masjid yang jamaahnya bisa mempertahankan samangat mereka. Ada sebagian lagi yang berhasil meningkatkan jumlah jamaahnya pada hari-hari terakhir.
Biasanya pada hari-hari terakhir, berkurangnya jumlah karena ada semangat lain yang terpompa, yakni menyambut hari raya. Padahal, substansi hari raya adalah pada keberhasilan menuntaskan puasa. Maka seharusnya yang secara sempurna merayakan hari raya adalah mereka yang berhasil mempertahankan semangatnya hingga hari-hari terakhir.
Godaan lain dalam rangka menyambut hari raya adalah pertarungan gegap-gempita duniawi. Hanya pada dua hal utama, yakni pakaian dan makanan. Orang sibuk di pasar pada detik-detik demikian, kebanyakan untuk memburu dua hal itu. Dua hal ini pula yang membuat kondisi banyak masjid menjadi berkurang drastis jamaahnya.
Kita bisa menangkap pada lokasi masjid yang dekat dengan pasar. Sebelum tarawih selesai, pasar sudah lebih semarak –kondisi kebalikan yang seharusnya orang menyemarakkan menit-menit akhir Ramadhan. Pilihan apapun pada dasarnya akan berimplikasi kepada kita masing-masing.
Jadi itulah alasan mengapa di awal-awal, tarawih itu menjadi sesuatu yang khusus. Pada posisi demikian, ada orang yang lebih tahu shalat tarawih yang hukumnya sunat ketimbang shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Orang yang jarang tampak pada jamaah wajib, tiba-tiba menjadi jamaah saf pertama jamaah sunat. Seharusnya dua-dua dilakukan, wajib dan sunat, sekarang atau nanti, masa kini atau masa depan.
Di samping itu, ada sebagian masjid yang berhasil memompa semangat jamaah. Semakin har-hari akhir, mereka berupaya menarik semakin banyak jamaah, dengan berbagai ibadah yang dipersiapkan. Bagi mereka, semangat untuk beribadah harus diundang dengan upaya semenarik mungkin. Mereka yang melakukan usaha tersebut yang akan berhasil meningkatkan jamaahnya hingga hari-hari terakhir.
Begitulah gambaran tarawih. Apalagi dalam jamaah di sini, setiap selesai shalat persis ketika suasana selesai shalat hari raya. Setiap selesai shalat tarawih dan shalat lima waktu, semua jamaah saling bermaaf-maafan secara fisik –mudah-mudahan juga batin. Hal menarik yang saya lihat ketika semua orang bersalaman itu, remaja dan anak-anak hanya akan mencium tangan mereka yang secara khusus menjadi tokoh di kampung ini. Tentu tidak semua tokoh mereka cium tangan, hanya mereka yang mungkin secara emosional atau tali keluarga saja yang demikian.
Setelah saya telusuri, ternyata remaja dan anak-anak memperlakukan sebagian tokoh secara berbeda, karena memang benar ada tali keluarga di antara mereka. bagi saya ini sesuatu yang luar biasa. Kampung yang sebenarnya sudah di pinggir kota ini, dibentuk dalam satu keluarga besar. Ada pendatang, akan tetapi belum mendominasi, walau ia terletak tidak jauh dari pusat kota. Dari kenyataan ini, tampak bahwa kampung di jantung kota sekalipun, bukan berarti tidak didominasi oleh suatu tali kekeluargaan. Satu kampung di kota yang sebagian besar warganya merupakan anggota suatu keluarga besar. Seharusnya, dengan kondisi ini, upaya membawa kampung ke arah yang lebih baik, bukan sesuatu yang sulit dilakukan.
Bagi saya bukan pada soal desa atau kota, masyarakat bersahaja atau masyarakat yang berpikir beda, yang penting adalah bagaimana suasana saling menjaga rasa itu dibangun. Keadaan ini yang sangat penting, terutama terkait dengan bagaimana ibadah kita seharusnya lakukan. Bukan ibadah itu ibadah kita persembahkan sesuatu, yang mana sesuatu yang kita persembahkan itu tentu yang paling baik kualitasnya?