Saya merasakan perbahan drastis ini dalam masyarakat Aceh. Dunia televisi. Dari TV hitam-putih yang mendapat kesempatan sesekali menontonnya, ke TV warna, yang juga sangat dikontrol oleh yang punya TV. Jika TV hitam-putih hanya dimiliki oleh mukim saja, di kampung, era 1980-1990, maka pasca itu, ada sejumlah TV warna yang tersedia.
Ada yang berbeda di kampung, waktu itu. Orang-orang yang punya TV, sangat menjaga jadwal nonton anak-anaknya. Dengan begitu, mereka juga membuka pintu bagi anak-anak lain. Jadwal anak-anak mengaji di meunasah pada kisaran jam 14.00-17.00 WIB. Sebelum jadwal itu berakhir, yang punya TV tidak akan membuka TV-nya. Kecuali, mereka akan menyalakannya diam-diam. Tapi ada persoalan lain di kampung. Saat itu, listrik negara baru masuk. Dengan jadwal hidup juga terbatas.
Kampung saya agak sedikit maju. Ada inisiatif pimpinan kampung, sejak 1980-an, untuk meureupee membeli satu mesin merek Nyanmar yang digunakan untuk pembangkit listrik kampung. Kalau tidak salah, satu rumah hanya mendapat jatah dua bola lampu dengan ukuran tidak lebih 30 watt. Saya kira sangat jarang kampung lain memiliki listrik waktu itu. Jadi karena kampung memiliki mesin listrik, meunasah kami juga sudah lama mengenal mikrofon dengan merek Toa. Saat azan, terdengar hingga ujung kampung. Mikrofon ini menjadi langgaran dipinjami kampung-kampung lain sewaktu ada hajatan tertentu di meunasah mereka. Tentu saja, waktu itu di tempat mereka masih menggunakan baterai.
Realitas terkait bagaimana orang yang punya TV menjaga jadwal, bagi saya menarik. Tidak suka-suka menyalakan TV. Mereka mempertimbangkan jadwal anakj kampung. Hari Minggu pun, yang libur, kami hanya dikasih izin menonton tidak lebih dari dua jam saja. Hari Minggu, tayangan TV juga mulai tersedia waktu itu.
Begitulah perkembangan TV terjadi. Saat saya menjaga warung kopi di kampung, orang tua saya juga membeli satu TV warna bekas ukuran 21 inci. Mereknya Fuji. Tapi yang namanya TV bekas, dengan kemampuan uang yang kecil, TV ini sering buram. Saat warung lain membeli TV baru, bahkan mampu menyediakan antena parabola untuk warungnya, tempat kami hanya mampu menyediakan itu.
Saya ingat mulai tahun 1990an, mulai dikenal televisi berwarna. Bahkan antena parabola mulai berkembang pelan-pelan. Di sejumlah kampung yang tingkat pendapatan lebih tinggi, parabola ini menjadi tren baru. Penduduk di pesisir, misalnya, yang secara ekonomi lebih mapan pada musim tertentu, antena ini lebih cepat menjalar di sana.
Secara langsung, ketersediaan TV juga berubah pada pola dan corak tontonan. Mereka yang memiliki parabola, sudah mulai curi-curi siaran India, yang waktu awal-awal menjadi aib bagi yang menontonnya. Film-film yang pemain perempuannya terkenal dengan memperlihatkan bagi tertentu tubuhnya. Dari malu-malu, pada saatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, orang sudah tidak malu-malu lagi menontoh film yang semacam itu. Semua warung yang memiliki TV, sudah tidak dipermasalahkan tontonan yang dibuka untuk menghadirkan para pelanggan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.