Suatu siang, saat masih kuliah, saya pulang dari kampus melalui jalan sunyi. Tepatnya jalan alternatif, yang diapit antara lapangan yang berada persis di samping makam pahlawan, dengan beberapa kontainer sampah di seberangnya. Jalan ini tidak asing bagi saya. Ketika pulang dari toko buku, atau membeli makanan, saya sering menempuh jalan alternatif ini. Namun perihal kontainer sampah diletakkan dekat dengan lapangan terbuka yang di samping makam pahlawan, itu sungguh di luar kemampuan saya untuk menjawabnya. Tempat lain yang dekat dengan sampah itu adalah lapangan futsal. Jika keadaan tidak hujan, di pinggir jalan ini juga banyak orang yang memarkirkan motor atau mobilnya. Dengan berbagai kepentingan mereka masing-masing. Aktivitas yang bisa terlihat sekilas, ada pekerja –mungkin sales rokok atau minuman—sering merebahkan diri di atas motor. Bisa jadi mereka beristirahat secukupnya. Anak-anak muda yang berbaju sekolah menengah, kadang-kadang dengan masing-masing pasangan. Atau orang yang sengaja memarkirkan mobil, dengan mesin yang menyala, dan pintu terbuka.
Itu yang saya lihat sekilas. Fenomena yang tidak butuh analisis untuk bisa ditangkap. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan terkait tulisan ini, adalah dekatnya tempat sampah di dekat mereka. Karena saya agak sering melalui, makanya tahu bahwa setiap saya lewat, pasti saya mencium bau sampah. Saya tidak ingin menggambarkan bagaimana bau sampah itu. Semuanya, saya kira berkemungkinan pernah menciumnya. Juga pasti bisa membedakan antara sampah yang baru, dengan sampah yang sudah menumpuk berhari-hari. Ketika orang lewat di tempat sampah yang berbau demikian, ada yang menutup hidungnya, pun tidak sedikit pula yang membiarkan hidungnya terbuka lebar. Lalu pertanyaannya, mengapa orang-orang yang beristirahat, atau yang sedang dengan pasangannya, atau mereka yang berada di mobil dengan mesin menyala dan pintu terbuka, ternyata betah dengan bau sampah? Mengenai jawaban ini, masing-masing memiliki pemaknaan sendiri-sendiri. Dengan kepentingan yang berbeda, mungkin akan memaknai sampah dan baunya secara berbeda.
Kesan itu pula yang saya tangkap ketika saya lewat waktu itu. Di sudut persis depan kontainer sampah, pekerjanya sedang makan nasi bungkus. Benar, saya tidak mengada-ada. Mereka juga duduk di samping saluran pembuangan yang airnya juga tidak bisa dibayangkan. Mereka makan dengan tangan yang dibungkus dengan plastik bungkusan nasi bungkus itu. Saya bisa melihat mereka makan sama seperti saya sedang makan. Seperti tidak ada sesuatu di depannya. Padahal ada tiga kontainer di sampingnya dengan isi sampah yang menggunung. Saya tidak ingin menebak-nebak. Jika saya ingin memaknai apa yang sedang terjadi, bahwa yang bersangkutan sudah mencuci pikirannya tidak seperti yang terus-menerus kita pikirkan. Alasannya bisa dua atau lebih. Pertama, karena mereka sudah terbiasa dan sudah kebal terhadap berbagai keadaan. Kedua, ada kemungkinan karena mereka tidak memiliki pilihan. Mau tidak mau, mereka harus melakoni demikian karena melalui lokasi itulah mereka mendapatkan pendapatan. Keduanya saya kira jelas ukurannya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.