Akhirnya pasal penghinaan kembali ditampung Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Januari 2023. RUU KUHP, telah disetujui pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 6 Desember 2022. Ada klausul terkait pemberlakuan, diatur dalam Pasal 624 menegaskan “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”.
Ada sejumlah pasal yang berbicara tentang harkat dan martabat, yakni terkait dengan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, diatur dalam Pasal 218, Pasal 219. Akan tetapi dalam Pasal 218 ayat (2) ditegaskan, untuk kepentingan umum dan pembelaan diri, apa yang diatur dalam pasal ini tidak disebut dalam kategori di atas.
Sejumlah pasal juga mengatur hal yang sama, penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat kepala negara sahabat atau wakil negara sahabat, sebagaimana diatur dalam Pasal 226, Pasal 227, dan Pasal 228. Namun dalam Pasal 230 juga ditegaskan bahwa tidak termasuk kategori yang dimaksudkan, jika untuk kepentingan umum dan pembelaan diri.
Untuk tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, ditegaskan dalam Pasal 220, hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, yang dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Ada pengecualian dalam pengaturan ini menggambarkan betapa ada potensi pasal tersebut secara subjektif dioperasionalkan. Seorang pejabat negara yang tidak tahan pada kritik, memiliki peluang untuk menggunakan pasal ini untuk membungkamnya dengan alasan kehormatan atau harkat dan martabat.
Sesungguhnya sejumlah pasal ini dari KUHP lama sudah pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 134 jo 136 KUHP, pasal penghinaan terhadap presiden telah dilakukan pembatalan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUUIV/ 2006. Menurut sejarahnya, pembentukan pasal tersebut berasal dari Wetbook Van Strafrecht (WvS) (Kitab Undang Undang Hukum Pidana Belanda) yang juga diberlakukan di negara jajahan.
Pembentukan pasal-pasal ini, dalam prosesnya sudah muncul pro dan kontra. Dulu usul pasal penghinaan dilakukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kemudian berbagai pihak, termasuk anggota legislatif, ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju menyebutkan bahwa harkat dan martabat presiden adalah cermin dari harkat dan martabat negara yang harus dijaga. Sedangkan pihak yang tidak setuju, memandang pasal tersebut berpotensi untuk disalahgunakan, terutama mereka yang selama ini sesungguhnya melakukan kritik, tetapi dianggap menghina. Disebabkan istilah dalam bahasan ini ada beberapa, yakni selain kritik, hina, ada juga kata-kata lain yang terkait.
Posisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat, jika dikaitkan dengan pengecualian di atas, dapat dilihat dari konsep yang lain secara berbeda, yakni “kritik” dan “hina”, serta kata-kata yang terkait tersebut.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “mengkritik” memiliki dua maksud, yakni mengemukakan kritik dan mengecam. Mengkritik berasal dari kata kiritik, yang berarti “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb”. Dalam konteks kritik yang membangun, dimaksudkan sebagai kritik yang bersifat memperbaiki.
Di samping itu, kritik dilakukan oleh orang yang mengkritik, orang yang mengemukakan kritik. Dengan berpatokan pada konsep di atas, sebuah ritik tidak mesti disertai uraian dan pertimbangan. Dalam berbagai bidang ilmu, dikenal pula yang namanya kritikus, yaitu mereka yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) terhadap baik buruknya sesuatu.
Kritik terkait dengan kecam. Dari segi konsep, kataitu bermaksud menyelidiki (mengamat-amati) dengan teliti; mencamkan. Kecam juga dianggap sama dengan mengkritik dan mencela. Kata terakhir ini berarti mengatakan bahwa ada celanya; mencacat; mengecam; mengkritik; menghina. Mencela berasal dari kata “cela”, yang berarti: (1) sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna; cacat; kekurangan; (2) aib; noda (tentang kelakuan, dsb); (3) hinaan; kecaman; kritik.
Sementara menghina, bermaksud: (1) merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); (2) memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti maki-maki, menistakan. Menghina berbeda dengan penghinaan, yang berarti proses, cara, perbuatan menghina(kan); enistakan. Kata menghina berasal dari kata dasar “hina”, yang memiliki dua makna: (1) rendah kedudukan (pangkat, martabatnya); (2) keji, tercela, tidak baik (tentang perbuatan, kelakuan).
Dari segi konsep, dalam Kamus Bahasa ada sejumlah maksud tertentu dipandang sama. Ada konteks tertentu yang diposisikan bahwa maksud dari kata kritik, hina, bahkan cela, dan kecam, pada dasarnya sama saja. Namun tidak bisa dinafikan, dalam konteks lain, penggunaan kata itu bisa berarti berbeda. Dengan bertitik tolak dari gambaran demikian, pengaturan tentang penghinaan perlu dirumuskan secara hati-hati karena ia terkait dengan konteks.
Karena hal ini terkait dengan konteks, maka maksud ketentuan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat, berpeluang dibelokkan untuk berbagai kepentingan. Berpatokan pada KUHP, penghinaan bertumpu pada delik aduan. Pengaturan secara khusus kan berpeluang digunakan untuk menghantam orang yang melakukan kritik. Padahal kritik juga sangat penting dalam mendampingi proses pembangunan.
Kritik bisa saja tanpa solusi. Orang yang melakukan kritik, sebenarnya orang-orang yang berusaha menyampaikan sesuatu, walau untuk sesuatu itu, tiada solusi yang ditawarkan. Bagi yang menerima kritik, seharusnya dengan adanya kritik –walau belum ada solusi— akan memudahkan yang bersangkutan mengetahui apa saja yang kurang. Catatan penting yang harus diberikan, bahwa pengkritik pun bisa tidak murni. Dalam sebuah kritik pun bisa didompleng oleh berbagai kepentingan. Ini juga masalah tersendiri.