Cermin

Ada ungkapan orang bijak yang mengingatkan kita agar berkacalah pada cermin yang bersih. Cermin yang kotor akan memantulkan bayangan yang bercak-bercak. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tampak seperti menempel di wajah kita. Berbeda dengan cermin …

Ada ungkapan orang bijak yang mengingatkan kita agar berkacalah pada cermin yang bersih. Cermin yang kotor akan memantulkan bayangan yang bercak-bercak. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tampak seperti menempel di wajah kita. Berbeda dengan cermin yang bersih, wajah orang-orang yang terpancar kadangkala melebihi dari yang sesungguhnya.

Ada dua hal yang harus diingat. Pertama, seseorang harus selalu bercermin, agar memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Kedua, saat bercermin, selalu menggunakan cermin yang bersih. Orang yang menggunakan cermin yang kotor, tidak akan mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Cermin itu semacam refleksi agar kita tahu hal apa yang mendekati persoalan sebenarnya. Dengan bercermin memungkinkan selalu kita bertanya apa yang mesti kita lakukan dalam hidup kita. Sesuatu yang harus dicapai, tidak jarang bergeser kemana-mana, sehingga harus ada upaya untuk mengembalikannya ke garis semula.

Dengan demikian, kita selalu mau dan terbuka untuk mengkalkulasi semua hal yang kita lakukan. Kepunyaan seseorang terhadap ilmu tidak berhenti dan mencapai finish begitu saja ketika hidupnya sudah berakhir. Ilmu adalah salah satu hal yang akan dipertanggungjawabkan nanti oleh setiap orang. Saya yakin, bahwa pada masanya, akan ada pengadilan di mana semua orang yang memiliki ilmu akan mempertanggungjawabkan tentang kemana dan bagaimana ilmu itu didayagunakan. Sama seperti harta, yang akan ditanya dari mana ia diperoleh dan kemana ia dibelanjakan.

Posisi ilmu demikian juga. Tidak ada seorang pun yang lolos dari mahkamah ini. Masalahnya adalah ada perbedaan masa ketika seseorang sampai pada waktunya itu. Titik akhir hidup di dunia, antara satu orang dengan orang lain, bisa jadi berbeda-beda. Yang jelas, semua orang akan mendapat titik akhir itu. Namun kapan waktunya, hanya Allah yang tahu. Selain waktu yang menjadi titik akhir, ada hal lain yang tidak diketahui manusia, yakni mengenai rezeki dan jodohnya.

Dengan adanya pengadilan, maka sudah tentu ada dua golongan. Di satu sisi, golongan yang mempergunakan sebagaimana mestinya, dengan demikian akan mendapatkan balasan yang baik. Di sisi lain, ada golongan yang tidak mempergunakan semestinya, makanya akan mendapatkan balasan yang buruk.

Nah, sebagai salah satu yang akan dipertanggungjawabkan, seyogianya ilmu yang kita punya akan didayagunakan pada tempatnya. Kategori pada tempatnya ini, adalah keniscayaan untuk mempergunakan ilmu pada hal yang baik. Orang pandai, dengan demikian, haruslah mengabdi kepada sesuatu yang membawa kepada kebaikan. Bukan sebaliknya, kepada kemungkaran. Orang pandai seharusnya tidak mengabdi untuk kekuasaan yang rakus, atau kepada gerombolan preman yang memalak orang banyak. Tidak juga bagi para penipu ulung yang mencari untung atas penderitaan orang-orang.

Akhirnya, keseyogiaan itu sepertinya idealitas. Karena dalam alam realitas, ternyata tidak demikian. Banyak orang pandai memiliki andil berdarah-darah tangannya bagi kekuasaan. Dengan ilmu yang dimiliki, orang pandai juga berdiri di belakang rezim yang berwajah buruk. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang rela tampil di depan demi menjaga kekuasaan yang menjadi tuannya. Pada tataran itu, orang yang mempunyai ilmu sudah lupa kemana seharusnya ilmu dipergunakan.

Padahal ujung dari sebuah pengabdian, bisa ditebak pilihannya. Mereka yang lurus dengan mereka yang tidak, akan mendapat balasan masing-masing. Orang yang tidak mempergunakan ilmu secara lurus, akan membawa petaka bagi banyak pihak dan balasan bagi dirinya.

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Na’im, mengajak kita untuk tidak bergaul dengan orang berilmu, kecuali mereka yang mengajak: dari keraguan ke yakin, dari riya ke ikhlas, dari rakus dan tamak ke zuhud (sederhana), dari sombong ke rendah hati, dan dari permusuhan ke menasihati. Lima hal itu menjadi barometer ketika kita mau bergaul dengan seseorang yang memiliki ilmu.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment