Ide

Tidak setiap hari kita memiliki kemampuan yang sama. Hari ini yang kita jalani kemarin, tidak selalu akan terulang kejayaan pada hari ini. Demikian juga esok. Namun, dengan berbagai keadaan apapun, kita harus berusaha mencapai hasil …

Tidak setiap hari kita memiliki kemampuan yang sama. Hari ini yang kita jalani kemarin, tidak selalu akan terulang kejayaan pada hari ini. Demikian juga esok. Namun, dengan berbagai keadaan apapun, kita harus berusaha mencapai hasil yang sempurna. Kualitas kehidupan yang luar biasa harus diupayakan tercapai.

Dalam kepentingan itulah, manajemen hidup mendapat posisi penting. Sesuatu harus dimanajemeni. Seorang yang beribadah, yang harus dijaga selalu adalah kuantitas dan kualitasnya agar terjaga. Jika kemarin bisa shalat tahajut dan shalat dhuha, seyogianya hari ini pun ia akan berkemampuan untuk melaksanakannya.

Manajemen menjaga kondisi yang naik turun itu. Dengan kondisi yang seminim apapun, tidak boleh mengurangi dari capaian yang telah diraih pada hari sebelumnya. Seyogianya demikianlah kehidupan yang kita jalani. Sama seperti seseorang yang harus selalu menjaga idenya.

Kadangkala saya mengalami semacam cobaan. Ketika waktu-waktu tertentu, saya benar-benar merasakan sedang berhijab dengan ide. Dari pagi tidak tahu apa yang mau saya tulis. Kondisi ini bisa dialami oleh banyak orang. Penyebab sederhana karena ketika banyak ide, kita tidak menabungnya dengan rapi. Ada ide sederhana yang lalu-lalang tetapi hilang begitu saja dari pandangan. Demikian juga dengan kenyataan yang memberi banyak hal yang seharusnya bisa kita tulis, nyatanya juga berlalu begitu saja. Orang-orang yang mampu menyimpan ide, melalui berbagai cara yang mudah dilakukan, akan mudah dikeluarkan ketika menghadapi kondisi yang demikian. Makanya tadi, sejak bergulat dengan apa yang saya tulis, berpikir keras tidak juga menghasilkan apa-apa.

Ide kadang muncul dan terkubur begitu saja. Suatu waktu, ketika saya naik pulang dengan kereta, energi bisa turun. Waktu itu, gerbong tiga yang saya naiki ternyata mengalami masalah. Ketika sedang jalan, kereta seperti tersentak-sentak dan hal itu menyebabkan kondisi tidak stabil, sekilas terasa seperti gempa ringan. Hal itu berlangsung lama, dan ketika ada pemeriksaan tiket, saya tanya ke pemeriksa kondisi tersebut. Mungkin setelah saya tanya, karena saya duduk di deretan dua, lalu muncul banyak pertanyaan serupa di belakang saya, membuat ia tidak memeriksa tiket sementara. Ia berjalan ke depan dan tak berapa lama, kereta berhenti. Lalu ada pengumuman permohonan maaf kereta harus berhenti karena ada yang harus diperbaiki pada gerbong dua dan tiga. Kereta jadinya terlambat sekitar 45 menit ke tujuan.

Tadi ketika sudah pulang dari kampus, memikirkan bagaimana kondisi kereta itu, saya lalu ingat satu hal sederhana. Makanya hal ini saya tulis sebelum sampai di rumah. Ide yang muncul kembali ini, lalu saya rekam dan mudah-mudahan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kisahnya sederhana. Ahad malam kemarin, saya dan istri berangkat ke Jakarta, dengan naik kereta api. Ada tujuan penting terkait dengan diskusi di Jakarta. Ketika berangkat, ada satu pemandangan yang menurut orang-orang sudah biasa, mulai dari stasiun saya berangkat, hingga sampai ke Jakarta, lalu menggunakan stasiun untuk commuter, yang saya lihat ternyata sama. Orang asyik dengan dunianya. Masing-masing memegang alat komunikasi dalam berbagai bentuk. Ironisnya, ada di antara mereka yang ternyata berombongan, tetapi hanya memberi perhatian kepada alat komunikasi yang di pegangnya. Bahkan dalam satu rombongan pun, bisa berempat atau berenam, ternyata masing-masing tidak saling berbicara dengan sesama mereka secara bersahaja, karena semuanya memegang alat komunikasi di tangannya: tangan dan wajah –dan mungkin juga sepenuh pikiran—juga tertumpu ke sana.

Bagi saya, ini sangat dahsyat dan mungkinkah, suatu keadaan bahwa kita seolah sendiri yang hidup dalam keramaian, sudah sampai masanya? Entahlah. Bahkan ketika kondisi kereta yang demikian ketika saya balik, saya juga melihat di semua bangku kereta memegang alat komunikasi masing-masing. Mereka ada yang berbicara dengan orang-orang sekelilingnya, namun perhatiannya sepertinya terkuras ke alat yang ada di tangannya.

Tidakkah kondisi demikian menyedihkan?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment