Catatan ini disusun berdasarkan potongan-potongan pikiran, dengan bertumpu pada lima isu utama. Kelima isu yang saya maksud, yakni: Pertama, independensi pengadilan. Kedua, due process of law (proses hukum yang adil). Ketiga, keadilan untuk semua (juctice for all). Keempat, akses terhadap bantuan hukum. Kelima, adanya peraturan perundang-undangan yang fair dan adil.
Saya sebut potongan, karena ia tidak disusun berdasarkan proses yang sangat ilmiah dan sistematis. Idealnya, menulis memang harus dilakukan berdasarkan hasil riset yang baik, untuk memastikan agar apa yang disampaikan selalu berbasis pada argumentasi ilmiah yang teruji.
Dengan tidak melupakan kepentingan akademis di atas, catatan ini berusaha menjadikan bahan-bahan tertulis hukum sebagai basisnya. Proses riset tersebut dilakukan secara sederhana yang berbasis pada bahan pustaka saja. Dengan demikian diharapkan tidak mengurangi dari kepentingan catatan ini dalam memperbaiki kualitas kehidupan bernegara dalam berbagai aspeknya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang negara hukum harus selalu dipertanyakan secara kritis, dalam rangka memastikan terwujudnya tujuan bernegara. Melihat kepentingan yang sangat hakiki, maka siapa pun idealnya berperan dalam memperbaiki kualitas bernegara. Dari profesi apa pun memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas kehidupan bernegara tersebut.
Tentu saja proses ini tidak selalu sederhana. Berdasarkan media massa dan media sosial, tidak sedikit orang yang bermasalah dengan otoritas negara hanya gara-gara mengkritik para pengelola negara. Bahkan ada orang yang mengkritisi hal sederhana, tapi bermasalah atau dipermasalahkan. Hukum, pada akhirnya, sebagaimana para ahli sosial menyebutkan, ia menjadi sangat cair dan seperti karet dalam pelaksanaannya. Tergantung siapa yang mengendalikan pelaksanaan hukum tersebut. Padahal dalam kehidupan bernegara, kritis secara bertanggung jawab bukanlah sesuatu yang terlarang untuk dilakukan.
Saya kira banyak ahli hukum yang berbicara tentang bagaimana ideal negara hukum. Bahkan para filsuf sudah membicarakan fondasi bernegara, sejak abad-abad Sebelum Masehi. Begitu pentingnya memastikan tercapainya tujuan-tujuan bernegara, hingga secara fondasi sudah dipikirkan secara mendalam.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama (2003 hingga 2008), Prof. Jimly Asshiddiqie, menulis sejumlah buku yang terkait fondasi bernegara. Sebagai guru besar tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tentu Asshiddiqie punya tanggung jawab intelektual lebih besar.
Dalam salah satu bukunya, dengan merujuk pada konsep negara hukum, yang dikaitkan dengan konteks negara hukum Indonesia, disebutkan paling tidak ada 12 prinsipnya yang harus terpenuhi, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara (constutitional court), perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratische rechsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat), dan transparansi dan keadilan sosial (Asshiddiqie, 2005).
Sejumlah literatur menyebutkan beberapa teks prinsip yang berbeda, namun dasarnya memiliki makna yang sama. Intinya penegasan suatu negara sebagai negara hukum, tetap memiliki orientasi pencapaian semua prinsip yang telah disebutkan di atas. Semuanya harus diupacakan tercapau secara terukur. Hal inilah yang harus dipastikan agar berjalan dengan baik.
Selain itu, semua prinsip menegaskan betapa semua elemen dalam kehidupan bernegara dan berbangsa berperan dalam melaksanakan dan menjaga semua tujuan-tujuan negara agar terwujud. Tujuan negara sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menjadi pegangan para penyelenggara negara dengan senantiasa berusaha keras berusaha mewujudkannya.