Jalan Membangun Negara Hukum Indonesia

Ada gagasan sejumlah ilmuwan hukum Indonesia tentang negara hukum Indonesia. Negara hukum yang memiliki pandangan yang khas berbasis cara pandang Indonesia. Kondisi ini tentu saja mendalam mengingat selama ini, para sarjana hukum berpandangan ketika berbicara …

Ada gagasan sejumlah ilmuwan hukum Indonesia tentang negara hukum Indonesia. Negara hukum yang memiliki pandangan yang khas berbasis cara pandang Indonesia. Kondisi ini tentu saja mendalam mengingat selama ini, para sarjana hukum berpandangan ketika berbicara negara hukum, pasti harus memilih rechtsstaat atau the rule of law. Ada satu kajian yang kemudian dibukukan, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, 1945-1990, menyentuh soal ini. Beberapa buku Profesor Satjipto Rahardjo, mengingatkan untuk tidak meninggalkan kekhasan hukum kita.

Saya mengakses dua makalah penting, tepat berbicara bagaimana konteks negara hukum Indonesia. Pertama, tulisan Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008), Profesor Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”. Tulisan ini dimulai dengan penjelasan ada perubahan dalam penegasan negara hukum kita, terutama setelah perubahan keempat pada tahun 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika sebelumnya, konsep negara hukum atau rechtsstaat tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, setelah perubahan, konsep ini dalam Pasal 1 ayat (3) ditegaskan dengan jelas, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik atau ekonomi. Prinsip negara hukum adalah the rule of law, not of man. Yang disebut pemerintahan adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari scenario sistem yang menganutnya (Asshiddiqie, 2006).

Kedua, makalah dengan judul “Negara Berwatak Pancasila”, disampaikan seorang Hakim Konstitusi, Profesor Arief Hidayat, dalam kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Asosiasi Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan (di Bogor tahun 2019). Substansi ini pun sudah pernah disampaikan pada Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, dua tahun sebelumnya.

Dalam makalah ini disampaikan bahwa diskursus negara hukum Pancasila bukanlah sesuatu yang baru. Lalu Arief Hidayat mempertegas konsepsi negara hukum Indonesia yang berbeda dengan konsepsi rechtsstaat maupun rule of law. Konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identifikasi dan perumusan ciri negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh karena itu, perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan masif untuk melakukan internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembentukan hukum nasional (Hidayat, 2019).

Menurut Arief Hidayat, setelah Perubahan UUD 1945, tidak disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut konsep Rechtsstaat, namun lebih diterjemahkan kedalam konsep negara hukum. Walau dengan posisi ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah Indonesia lantas menganut Rechtsstaat atau the Rule of Law? Berdasarkan pemikiran Hidayat, negara hukum Indonesia justru berdiri pada konsep sendiri, yakni Negara Hukum Pancasila. Pilihan ini antara lain jalan tengah dari jalan perdebatan awal abad ke-20 antara Nederburgh – Nollst Trenite dan Cornelis van Vollenhoven (antara unifikasi dan kodifikasi versus hukum adat). Sesudah merdeka, dalam pembentukan hukum masional, debat ini juga terjadi, terutama antara Prof. Djojogigoeno dan Prof, Koesnoe yang berfikir hukum adat, atau Prof. Hazairin (hukum Islam –setidaknya untuk pemeluknya), versus Prof. Djoko Soetono dan Prof. Sudiman Kartohadi Prodjo yang menginginkan unifikasi dan kodifikasi. Dengan demikian, pilihan tawaran suatu konsep negara hukum yang bersumber pada pandangan falsafah hidup luhur bangsa Indonesia, bukanlah sesuatu yang berlebihan (Hidayat, 2019; Hartono, 2006).

Untuk memperkuat negara hukum Pancasila, terdapat lima karakter penting didalamnya, yakni: Pertama, merupakan suatu negara kekeluargaan, dengan pengakuan terhadap hak individu dengan mengutamakan kepentingan bersama. Kedua, negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan, dengan realitasnya sifatnya yang prismatic, memadukan kepastian dan keadilan. Ketiga, religious nation state, yang memiliki hubungan antara negara dan agama. Keempat, memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum sebagai cermin budaya masyarakat. Kelima, basis pembuatan dan pembentukan hukum nasional harus didasarkan pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal (Pancasila sebagai perekat dan pemersatu) (Hidayat, 2019).

Pemikir hukum progresif, Profesor Satjipto Rahardjo, dalam satu artikelnya di Kompas edisi 11 Agustus 2003, dengan judul “58 Tahun Negara Hukum Indonesia”, menyebut tentang konsep negara hukum yang harusnya dibangun dari dalam negara kita sendiri. Bukan dari konsep Eropa, yang menempatkan negara hukum sebagai bangunan yang “dipaksakan dari luar” (imposed from outside) (Arizona, 2010). Tentu gagasan ini tidak mudah. Dari sejumlah pemikiran di atas, jalan untuk membangun negara hukum Indonesia sangat terbuka. Seperti disebut Satjipto Rahardjo, membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun suatu peradaban baru. Ia adalah produk raksasa.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment