Lampu Teplok

Dalam bahasa orang kampung, manusia itu seringkali seperti tampilan lampu teplok –lampu yang bisa menerangi orang lain, namun dirinya belepotan. Manusia bisa melihat orang lain apa adanya, namun sulit untuk melihat hal yang sama terhadap …

Dalam bahasa orang kampung, manusia itu seringkali seperti tampilan lampu teplok –lampu yang bisa menerangi orang lain, namun dirinya belepotan. Manusia bisa melihat orang lain apa adanya, namun sulit untuk melihat hal yang sama terhadap diri sendiri. Untuk orang lain kita bisa melihat dengan mudah dari berbagai sisi, namun saat berbicara diri kita sendiri, akan muncul peradaan berbeda.

Inilah yang dimaksudkan sebagai tidak objektif oleh mereka yang bergelut dengan ilmu sosial di kampus. Objektif atau subjektif dalam melihat sesuatu, dianalogi dalam kasus bagaimana seseorang bisa menerima dan melakukan kritik atas dirinya, tidak hanya untuk orang lain.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, yang disebut kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dengan demikian, apa yang dinamakan dengan kritik, pada dasarnya mencakup baik dan buruk, bukan yang buruk saja. Orang-orang yang mengritik, harus melihat dari orang berupa ada sesuatu yang baik, di tengah kondisi yang buruk.

Masalahnya, orang yang mengritik sulit sekali melihat yang baik itu. Bahwa dalam kepungan yang buruk, bisa jadi ada yang baik, dan itu jarang dilihat untuk diungkapkan juga. Orang-orang yang mengritik orang lain, hanya mengomentari sesuatu yang buruk saja. Posisi demikian tentu tidak adil, disebabkan dalam diri seseorang juga ada kekuatan sebaliknya dari yang dikritik.

Selain itu, apa yang dinamakan dengan mengritik, adalah mengemukakan kritik, mengecam. Semua itu dilakukan oleh orang berposisi sebagai pengkritik –dalam hal ini orang yang mengritik atau orang yang mengemukakan kritik.

Dalam karya, dikenal adanya kritikus. Orang yang demikian, adalah mereka yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu. Mereka yang kritikus, ahli yang selalu bisa melihat dua sisi: baik dan buruk. Istilah lain adalah kritis: (1) bersifat tidak lekas percaya; (2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; (3) tajam di penganalisisan.

Ada dua hal yang sangat penting untuk kita pahami, bahwa posisi kritik yang tidak bisa menghindari potensi baik dan buruk. Seorang pengkritik harus selalu melihat adanya sesuatu yang buruk, sekaligus juga ada yang baik. Orang yang tidak bisa melihat keduanya, maka ada potensi tidak bisa melakukan kritik yang baik.

Selain itu, terkait dengan mengkritik sesuatu yang ada kita di dalamnya, seyogianya tidak boleh melupakan kenyataan bahwa segala hal yang baik atau buruk, juga muncul dari potensi yang kita punya. Sesuatu yang baik muncul dari potensi baik kita. Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang buruk, juga muncul sebagiannya dari potensi yang buruk dari diri kita. Dalam hal ini, kita tidak boleh lupa untuk melihat diri. Auto atau oto dalam kritik, terutama yang ada kita di dalamnya, sangat perlu dilakukan. Pada posisi itu, untuk hal apapun, kita seperti menepuk air ke muka sendiri. Apabila hal itu siap kita terima, maka silakan kritik apa yang ada dalam diri kita.

Itulah yang penting untuk diingatkan. Sesuatu yang kritik seolah-olah untuk orang lain, tidak samua benar-benar untuk orang lain. Sebagian merupakan untuk diri kita sendiri. Wajah kita. Pilihannya hanya dua: apakah kita memang tidak tahu atau kita hanya pura-pura tidak tahu saja. Jangan-jangan ada pada posisi kedua. Kita mempertebal kulit muka kita, dari diri kita sendiri.

Dengan begitu, seharusnya kita bisa apa adanya –sebagai simbol bahwa semuanya tidak perlu disembunyikan. Tampilan depan dan belakang tidak perlu berbeda. Namun untuk pilihan ini, juga membutuhkan energi yang tidak sedikit untuk menerima apa adanya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment