Pernah Anda melihat saudara, keluarga, atau teman yang sewaktu-waktu berada pada titik tertinggi dalam berbuat baik? Melakukan sesuatu dengan bersahaja dan pada titik demikian, seperti ada kekuatan tertentu yang menyebabkan seseorang merealisasikan perbuatan baik apapun yang sudah diniatkan. Lalu pada saat yang lain, kita menyaksikan ada orang yang tadinya sedang giat, tiba-tiba seperti hilang ditelan zaman.
Mungkin Anda pernah merasakan ada orang yang sering dijumpai di tempat yang baik, sedang memberi semangat orang lain untuk berbuat baik juga, lalu beberapa waktu tidak terlihat lagi. Sesekali kita berjumpa orang demikian di tempat berbeda, misalnya pada waktu kebiasaan ia berbuat baik, tiba-tiba kita jumpai ia sedang duduk santai di warung kopi.
Keinginan dan implementasi untuk berbuat baik itu bisa saja naik turun. Orang yang hari ini sangat bersemangat, besok bisa jadi berkurang. Ada ungkapan dalam masyarakat Aceh, watee mangat teumen bu. Waktu makan enak saja. Saat makanan tidak enak, maka semangat juga hilang.
Ada sesuatu yang bisa dipelajari, yakni ketika kondisi seseorang sedang bersemangatnya melakukan sesuatu yang baik. Hal yang bisa dipelajari adalah apa yang menyebabkan seseorang itu bisa seperti itu. Apakah alasannya alamiah, atau ada sesuatu yang lain yang selama ini menjadi penyebab.
Hal yang bisa dilakukan oleh orang-orang adalah memperkuat apa yang menjadi penyebab seeorang melakukan yang baik itu. Lalu meninggalkan apa yang menjadi penyebab seseorang meninggalkannya. Penyebab yang membuat seseorang seperti kehilangan semangat saat untuk berbuat baik, harus ditutup rapat.
Saya kira inilah yang dipelajari oleh mereka yang kreatif. Mereka bukan yang bisa melakukan sesuatu yang berkelas di waktu tertentu, lalu kehilangan kelas di waktu yang lain. Hal yang mereka lakukan pada dasarnya adalah sederhana, yakni merawat apa yang memungkinkan mereka berada di titik tertinggi kreatif itu.
Jelaslah tidak semua hal dijaga oleh seseorang. Orang-orang kreatif berusaha menjaga semangat ketika sedang di atas, namun menutup habis titik jenuh yang sewaktu-waktu bisa mendatangi mereka. Dengan semangat yang tinggi, titik jenuh itu yang harus dihindari, dan yang dikelola adalah semangat yang tinggi yang membuat mampu melakukan sesuatu yang luar biasa.
Saya ingin mencontohkan berbuat baik itu dengan meminjam apa yang dilakukan seorang kuliner terhadap makanannya. Mereka berusaha keras mencapai kualitas makanan, sekaligus kualitas yang membuat seseorang mendekat terhadap makanan yang ditawarkannya.
Hal yang akan saya ceritakan adalah mengenai sepenuh hati dalam melakukan sesuatu. Salah satunya, kita harus bercontoh pada mereka yang bergiat di dunia kuliner. Dunia kuliner, berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Bukan saja karena televisi dan berita menayangkannya dengan luar biasa. Mereka juga menyahuti ada kegemaran orang terhadap makan yang juga luar biasa.
Dengan kondisi demikian, maka saya kira, sudah seharusnya, kita belajar banyak pada revolusi kuliner. Revolusi yang dilakukan berhasil mengubah wajah. Yang paling tampak adalah perpaduan antara rasa dan raga. Bisnis kuliner memadukan apa yang akan dirasakan sebagai enak di mulut dengan enak di mata. Mencicipi makanan akan membuat orang ketagihan. Namun apa yang terasa enak di mulut, harus didukung oleh bagaimana makanan itu dipresentasikan dalam wadah.
Banyak sekali makanan enak akan kalah oleh tampilan yang tidak berdaya tarik. Sebaliknya, tampilan yang enak di mata memungkinkan mengubah pandangan orang terhadap rasa lainnya. Bagaimana orang melihat sesuatu yang di dalam wadah, akan mengirimkan sinyal ke otak, dengan demikian ke mana hendak dibawa akan diberi stimulus oleh otak. Ketika makanan yang terasa indah, berpeluang untuk dirasa, dibandingkan yang sebaliknya: walau makanan enak tetapi tidak enak di mata.
Inilah perpaduan yang akhirnya bisa disebut dalam kategori revolusi. Dunia profesi ini berkembang hebat. Pendidikannya berkembang di banyak tempat. Kontes muncul di mana-mana. Lalu pusat kuliner tumbuh di berbagai sudut kota. orang boleh berkilah bahwa perkembangan ekonomi menentukan. Boleh jadi. Namun seni dalam menggerakkan revolusi rasa dan raga ini, sesungguhnya, menurut saya, menjadi faktor kunci.
Rasa dan raga inilah yang kemudian diolah untuk direproduksi oleh pemilik modal lainnya. Pemilik modal ini kemudian mencoba dengan berbagai perpaduan baru yang dikombinasikan dengan daya dukung baru. Makanya apa yang tidak bisa dalam dunia kuliner akhir-akhir ini? Pernahkah kita lihat ada es yang digoreng? Atau bakso yang tidak semua orang percaya bisa dipadukan dengan es cream. Tiba-tiba makanan ujung barat dan ujung timur bertemu dalam satu mangkok.
Tidak semata sebagai hasil kreasi para pawang masakan. Mereka yang memahami dari segi resep dan konsep makanan. Ada peran yang lain, yaitu mereka yang memahami seluk beluk bagaimana sesuatu itu bisa membahagiakan mata, sehingga menjadi daya tarik. Nah, yang ketiga, dua kekuatan tersebut kemudian dibungkus dalam satu kekuatan lain, sehingga menjadikan daya tarik terhadap makanan berlipat-lipat.
Di tengah berbagai perkembangan dalam dunia makanan dan masakan, kita tidak boleh lupa perkembangan penyakit dari makanan yang juga berlipat-lipat. Berbagai penyakit aneh kini muncul, yang diyakini sebagai akibat orang tidak bisa menjaga memakan. Makanya ingatlah selalu pesan Rasul: makanlah sebelum lapar, dan berhentikan sebelum kenyang.
Apakah tidak bisa meminjam konsep kuliner bagi mereka yang menjaga perbuatan baik? Orang yang selalu berbuat baik harus berusaha seperti seorang yang bergiat di dunia kuliner, yang tiada berhenti otak dan jiwa berpikir menawarkan sesuatu yang lebih baik lagi. Orang yang berbuat baik harus selalu berkreasi agar virus berbuat baik tidak saja dipandang baik oleh orang lain, melainkan semakin banyak barisan orang-orang yang berbuat baik itu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.