Keinginan kita untuk terlihat lebih dari orang lain, kadangkala tidak bisa dibendung. Ada rasa yang tidak terlukiskan saat kita bisa pada posisi yang demikian. Apalagi kalau menganggap orang lain belum apa-apanya. Pada posisi ini, setiap orang harus ekstra hati-hati. Terutama saat kita terjebak pada sifat sombong yang seharusnya itu bukan miliknya manusia.
Cara untuk berhati-hati terhadap hal yang demikian, adalah dengan cara kita terus memperbaiki diri. Kehidupan yang kita jalani harus beringinan dengan proses memperbaiki diri itu. Sebagai bagian dari proses belajar, manusia harus menyadari bahwa hidupnya harus selalu lebih baik.
Saya teringat satu kejadian, ada seorang remaja tanggung jatuh dari tempat tinggi. Ia terpeleset ketika mau mengambil foto diri di lantai lima sebuah bangunan yang belum selesai. Ketika di atas, ia terpeleset dan langsung jatuh. Keinginan yang sebenarnya sederhana. Ketika di atas sana, si anak kepingin memotret diri sebagai tempat yang tidak biasa. Suatu tempat yang memungkinkan ia memperlihatkan sesuatu yang berbeda dengan teman-teman lainnya. Keinginan demikian yang membuat banyak orang tidak bisa menahan diri untuk memfoto diri di tempat-tempat yang dianggap berbeda dari biasanya.
Foto diri yang dimaksud, yang dilakukan oleh diri, dan biasanya digunakan untuk diri, bermaksud untuk menyebarkan kepada orang lain melalui banyak ruang dan media. Dengan mengejar kepentingan ini, sekarang telah banyak memakan korban. Yang memakan korban bukanlah fotonya, melainkan proses untuk mendapatkan foto tersebut. Orang yang mengabadikan diri dengan berbagai pose dan gaya, lengkap dengan pemandangan dan potret yang diharapkan mengagumkan.
Dengan orientasi demikian, bukankah harapan orang ingin agar apa yang diabadikan tersebut memunculkan decak kagum dari orang-orang yang melihatnya? Akan tetapi ada yang tidak setuju dengan pendapat demikian. Ada orang yang menganggap bahwa foto demikian, bisa juga digunakan untuk mengabadikan sesuatu agar tercatat, seperti usaha untuk melawan lupa. Tak jarang melalui foto diri dapat merekam banyak hal yang tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Alasan ini menjadi orientasi orang yang tidak sepakat dengan pendapat pertama.
Di luar kepentingan yang kedua, khususnya di ruang media sosial, bahwa foto diri itu selalu akan menyasar adanya umpan balik dari orang-orang yang melihatnya. Umpan tersebut, dapat saja berupa adanya rasa suka dari banyak orang. Begitu sederhana keinginan demikian, yang hanya ingin mendapat rasa suka dari orang-orang di sekelilingnya. Sayangnya kadangkala modal untuk mendapatkan momentum foto diri yang mengagumkan tersebut, tidak sebanding dengan hasilnya. Orang yang berjuang keras di tempat berbahaya hanya untuk mendapatkan foto yang mengagumkan, justru menggadai keselamatan, yang hasilnya mungkin tidak seindah yang dibayangkan. Atau berbahagia ria di tengah suasana bencana yang menyesakkan dada. Orang-orang yang datang ke lokasi bencana, kadangkala hanya untuk memotret diri dan memasukkannya ke media sosial.
Ada sejumlah kejadian yang tidak biasa, dan hal ini seyogianya tidak dicontohkan oleh banyak orang. Bisa dibayangkan bagaimana sepasang calon suami istri, menantang bahaya hanya untuk mengambil gambar yang akan digunakan untuk ditempel di undangan pernikahannya. Berfoto di atas bukit terjal atau di gedung tua yang rapuh, berdiri di pinggirnya agar secara langsung menampakkan sesuatu yang orisinal, bukan dicomot entah dari laman lainnya. Bukankah keinginan justru berlebihan ketika hanya diharapkan hanya untuk mendapatkan sejumpit decak kagum? Barangkali kita bisa berbeda pendapat, namun usaha demikian dengan tujuan yang diinginkan, tidak sebanding. Akan tetapi begitulah manusia, kadangkala memiliki keinginan yang tidak bisa diduga. Sekiranya mereka tahu bahwa semua memiliki implikasi, maka setiap orang berkemungkinan akan memilih jalan hidup mudah, agar dapat dipertanggungjawabkan seluruh hidupnya dengan sempurna.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.