Ada perbedaan generasi yang merasa pandai dengan yang pandai merasa. Generasi yang merasa pandai sering tidak mau tahu keadaan sekitar. Orang lain yang harus memahami apa yang dilakukan. Berbeda dengan generasi yang pandai merasa, sangat sensitif terhadap keadaan sekitar.
Generasi yang pandai merasa, akan selalu mempertimbangkan apa yang dilakukan dengan keadaan orang-orang di sekitarnya. Apalagi sesuatu yang dilakukan akan mengakibatkan tidak baik bagi orang sekitar, maka hal itu tidak akan dilakukan. Sebaliknya bila implikasinya baik, akan dilaksanakan dengan baik.
Ada penerimaan yang selalu menjadi pertimbangan. Sesuatu yang menyebabkan orang lain terganggu, maka akan ditinggalkan oleh generasi yang pandai merasa. Perbuatan yang menimbulkan kegaduhan, kebisingan, dan semacamnya, akan ditinggalkan.
Ada suasana tidak enak saya rasakan. Ketika shalat pada suatu masjid, di jalan umum yang berdekatan, ada gerombolan anak muda yang melakukan balapan. Seperti tidak ada yang bisa menertibkan. Kendaraan mereka yang rata-rata mengeluarkan suara bising tiara tara, dengan jenis knalpot yang sengaja dibuat begitu. Masalahnya adalah dengan knalpot, apakah pengendara dengan knalpot bising tahu ia sangat mengganggu orang lain?
Dengan melihat secara positif, barangkali selama ini memang mereka tidak tahu, bahwa suara knalpot mereka itu bersuara tidak enak didengar dan sangat menganggu. Mereka anak muda yang entah lahir dimana, tidak memiliki prakiraan terhadap orang sekitar, yang ada hanya orang lain yang harus tunduk pada dirinya, mungkin kenyataan dari personifikasi mereka. Untuk hal ini, kita anggap mereka mungkin memang benar belum tahu.
Sebaliknya, seandainya mereka sudah tahu bahwa suara knalpot mereka bisa menganggu orang lain, maka menjadi penting ada orang yang mencari tahu mengapa bisa begitu? Dengan kata lain, apa yang menyebabkan mereka sehingga mereka bisa, mungkin gagah, garang, atau apa ketika mereka menggunakan knalpot yang begitu rupa? Orang ini yang akan bisa menjawab, barangkali mereka juga ada alasan tertentu yang tidak kita ketahui selama ini. Mungkin ada alasan ritual, atau semacamnya, misalnya kalau tidak menggunakan knalpot bising yang menganggu orang lain, badan mereka akan terasa tidak enak, tidur tidak nyenyak, dan berjalan di jalan raya tidak tenang.
Dengan meraba-raba alasan, mungkin atas dasar ini, pihak yang berwenang pun segan dan malu-malu dalam menertibkan. Bahkan dengan melakukan balap liar, selain suara bising, sebenarnya ada risiko lain yang akan dialami mereka yang memakai jalan raya. Ironisnya kadangkala hal itu berlangsung di dekat perumahan mereka yang bersenjata. Lantas mengapa kewenangan mereka tak digunakan? Ataukah sebagian orang merasa bising itu sebagai sesuatu yang enak didengar, sementara sebagian merasa tidak enak? Jangan-jangan bagi sebagian, bising itu seperti suara melodi yang indah, sehingga tidak patut dirisaukan.
Salah seorang Walikota, pernah turun langsung ke lapangan, ketika para anak muda semakin gemar berknalpot bising ria. Walikota melakukan rasia terhadap kendaraan roda dua yang bising. Caranya unik sekali. Mereka yang memiliki knalpot bising itu, dipaksa agar mendengar sendiri suara knalpot bisingnya itu. Dengan seksama, setelah mendengar, mereka melapor kepada walikota bahwa suaranya memang sama sekali tidak enak untuk didengar. Lantas bukan untuk diberi hukuman. Walikota lantas menanyakan, apakah untuk sesuatu yang tidak enak didengar, yang kita perdengarkan kepada orang, lalu orang yang mendengar kita balik bahwa kita sendiri yang mendengarkan, perasaan kita bagaimana? Ternyata orang yang memiliki knalpot bising juga mengaku, perasaan mereka juga remuk.
Mungkin langkah seperti yang dilakukan walikota ini bisa mengubah kesan orang terhadap bising.