Negara Hukum dan Hukum Negara

Ada perbedaan antara negara hukum dan hukum negara. Istilah yang terakhir disebut, hukum negara, pada dasarnya untuk membedakan dengan hukum yang nonnegara. Tidak semua sarjana hukum sepakat dengan adanya hukum yang nonnegara –hukum-hukum yang pada …

Ada perbedaan antara negara hukum dan hukum negara. Istilah yang terakhir disebut, hukum negara, pada dasarnya untuk membedakan dengan hukum yang nonnegara. Tidak semua sarjana hukum sepakat dengan adanya hukum yang nonnegara –hukum-hukum yang pada dasarnya tidak dibentuk oleh institusi negara sebagaimana diperkenalkan aliran positivisme hukum. Aliran-aliran hukum lain, terutama hukum historis, yang meyakini bahwa di dalam masyarakat itu selalu ada hukum yang hidup, merasa hukum yang semacam ini, tetap harus mendapat tempat dengan baik. Tentu ada debat yang berlangsung terus-menerus dan dalam waktu yang lama –sebagaimana juga tidak habis-habisnya debat antara aliran positivisme hukum dengan aliran hukum alam. Aliran positivisme hukum, sebagai antitesa dari hukum alam, menyebut pentingnya apa yang disebut sebagai kepastian hukum.

Saya tidak ingin terlalu jauh, karena ada kalanya sangat teoritis –dalam makna konseptual. Hal yang ingin disampaikan pada dasarnya terkait pada keterukuran dan akuntabilitas, sebagai tawaran dalam hukum –bahkan cara berhukum yang berkepastian itu. Sebagaimana Galanter atau Berman (yang pernah diulas pada tulisan lain), mengurai apa yang disebut sebagai indikator hukum modern. Sesungguhnya dalam makna inilah, negara hukum disebut –tentu dengan tidak mengabaikan realitas hukum-hukum yang nonnegara dalam konsep yang saya sebut di atas. Bahkan sebagaimana gagasan aliran hukum historis yang menyebut hukum yang hidup sebagai realitas, jangan sampai ia dianggap tidak ada dengan posisi hukum negara. Barang kali konsep dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru dapat menjadi salah satu model yang memuliakan hukum yang hidup.

Selain itu, secara konsep sesungguhnya hukum yang hidup ini pun bisa melalui skema yang lain, yakni melalui proses sortir oleh negara. Saya ingin menggunakan cara berpikir John Griffith dalam konteks pluralism hukum yang membaginya kepada hukum yang kuat dan lemah (strong pluralism dan weak pluralism). Dengan lugas, Griffith menyebut kita sedang berada dalam ideologi dominan sentralisme hukum –suatu posisi yang ditolak mengingat masih ada hukum-hukum lain di luar hukum negara. Cara pandangnya menjadi dua. Hukum di luar negara negara tetap diakui pada posisi sama kuatnya. Atau, pilihan kedua, hukum lain tetap diakui dengan syarat harus melalui proses menegara terlebih dahulu (Griffth, 1986).

Dalam konteks pluralisme hukum yang lemah, hukum yang berlaku sendiri dan tidak diatur dalam hukum negara –misalnya hukum agama dan hukum adat di luar yang sudah dilakukan proses unifikasi dan kodifikasi. Merujuk pada apa yang diungkapkan Umar Said, bahwa yang dimaksud dengan kodifikasi adalah membukukan hukum sejenis secara lengkap, sistematis, sehingga menjadi satu dalam satu kitan undang-undang (Said, 2009). Kitab undang-undang yang dikenap selama ini, misalnya kitab undang-undang hukum pidana dan hukum acaranya, kitab undang-undang hukum perdata dan hukum acaranya, kitab undang-undang hukum dagang.

Sementara unifikasi hukum adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional; atau pemberlakuan hukum secara nasional (Said, 2009; Oktavira, 2024; Sugiantari, 2015). Secara konsep, unifikasi ini dipandang sangat sulit diterapkan, mengingat kondisi pluralisme hukum yang nyata dalam realitas.

Sebagaimana tujuan kodifikasi dalam rangka kesatuan hukum, dan ini sudah berlangsung sejak era pembangunan hukum nasional (Soeroso, 2011), menjadi cermin bagaimana target titik hukum negara sudah direncanakan dari awal. Dan posisi ini, dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan kepastian hukum. Para sarjana hukum tetap menganggap bahwa kodifikasi merupakan keharusan dan harus berisikan hukum yang dapat memenuhi kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kodifikasi harus tetap mencerminkan hukum yang hidup (Mahanani, 2017).

Saya setuju dengan apa yang disebut terakhir. Dalam konteks ini, sebagaimana juga konsep negara hukum, bahwa siapa pun sama sekali tidak boleh semena-mena.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment