Alat komunikasi yang dimiliki, harus berfungsi pada tempatnya dengan baik. Pada tempat yang tidak semestinya dipergunakan, maka alat komunikasi bisa disimpan sementara, dan akan dipergunakan lagi setelah satu agenda selesai. Penggunaan yang tidak pada tempatnya, bisa berimbas pada orang lain yang ada di sekeliling kita.
Kenyataan bisa tidak selaras dengan kehendak. Di masjid-masjid, kadang-kadang sudah dibuat pengumuman agar alat komunikasi tidak digunakan sementara, namun banyak di antara kita yang menjadi jamaah, seperti tidak tahan. Seolah-olah ketika alat komunikasi tidak dilihat sebentar-sebentar, akan ada yang terlewatkan.
Kenyataan ini memperlihatkan adanya ketakutan tertentu, seolah-olah ketika tidak dilihat, akan ada sesuatu. Padahal tidak. Sehingga dalam kondisi apapun, serius atau tidak, alat komunikasi selalu dibuka.
Ini menjadi satu hal yang menarik, menyaksikan banyak sekali orang –terutama kaum muda yang sudah terkena sindrom apa yang disebut nomophobia. Istilah ini saya temukan, awalnya di laman internet. Seterusnya suatu hari, saya baca satu ulasan tentang ini di harian Serambi Indonesia. Ada satu tulisan yang mengulas bagaimana orang memosisikan alat komunikasi.
Menarik, karena sindrom ini terasa berbeda. Nomophobia, singkatan dari “no mobile phone phobia”. Lihat tangan anak muda selama ini. Ada dua benda yang seolah tidak lepas. Satu handphone atau smartphone, satu lagi pengisi baterai. Malah ada orang yang memiliki dua atau tiga handphone atau smartphone sekaligus. Makanya sebagian orang, karena sudah tidak muat dengan kantong yang ada, membeli tas kecil, yang sebagian profesi digunakan untuk menyimpan berbagai alat kerjanya.
Inti dari orang yang kena nomophobia adalah selalu merasa gelisah ketika jauh dari handphone atau smartphone. Ketika baterai habis, selalu merasa ada panggilan selalu untuknya, sehingga selalu diisi tiada henti. Handphone atau smartphone juga selalu harus dekat, mungkin karena asumsi bahwa setiap panggilan harus segera diangkat. Dengan adanya power bank, orang-orang yang terkena sindrom nomophobia akan merasa terbantu. Pergi ke mana saja selalu menyertakan beberapa power bank sekaligus.
Saya memiliki beberapa pengalaman dalam shalat berjamaah. Dengan berkesempatan shalat di beberapa masjid, saya melihat hal yang sebenarnya ganjil. Orang-orang yang bermental nomophobia, setiap selesai shalat, selalu melihat handphone atau smartphone-nya. Orang lain sibuk dengan berdoa, sedangkan yang nomophobia, sibuk memencet-mencet layar atau tombol handphone atau smartphone.
Pengalaman ini yang mengingatkan saya pada suatu masjid, yang dengan tulisan gamblang menulis di pintu utama, “adakah call yang lebih penting daripada panggilan Allah?” Hal ini penting menjadi renungan, agar tidak sampai ada yang menjadi budak alat komunikasi. Seolah-olah menerima panggilan manusia tidak bisa ditunda. Bahkan ada orang yang merusak shalatnya hanya gara-gara mau menerima panggilan telepon.
Ada pergeseran yang sangat tentang bagaimana orang memosisikan sesuatu yang penting dan yang tidak terlalu penting. Ketika di dalam tempat ibadah, seyogianya tidak ada yang sepenting berkonsentrasi untuk beribadah. Tidak sibuk dengan menjawab atau membalas pesan pendek.
Untuk kategori ini saja sudah tidak bisa tahan, bagaimana dengan target yang lain, untuk mencapai ibadah yang berkualitas. Bukankah ibadah berkualitas sebagai salah satu ruang untuk mengerjakan apa yang menjadi perintah bagi manusia?