Apakah manusia itu perlu dimanusiakan? Bukankah manusia memang sudah begitu adanya menjadi manusia? Ada tafsir teks, dan ada tafsir konteks. Sekarang dunia sedang menghadapi dua-duanya.
Perkembangan zaman tidak semua bisa ditebak. Negara besar biasanya memegang kendali sentral. Kepentingan negara-negara besar seringkali hanya mendompleng dari keadaan lain yang dianggap yang senyatanya terjadi.
Ada manipulasi yang kadangkala berlangsung. Seolah-seolah kebutuhan banyak orang di dunia, padahal hanya untuk memuluskan langkah bagi pemenuhan kepentingan sejumlah negara besar saja. Inilah antara lain alasan mengapa manusia juga perlu dimanusiakan.
Pemanusiaan penting karena dalam banyak era, harga manusia begitu murah. Dunia seperti membuat strata harga nyawa, mulai dari harga super tinggi hingga super rendah. Nyawa yang super tinggi, bisa dilihat dari kesibukan dunia saat hilang satu atau dua raga. Sedangkan yang harganya super rendah, saat banyak nyawa manusia melayang, tetapi dunia pura-pura tutup mata saja.
Mereka yang menjadi korban atas berbagai sebab. Perang dan konflik terjadi dimana-mana. Penyebab perang dan konflik, bisa jadi karena persaingan kelas, pun alasan ada sumber daya alam yang diperebutkan.
Banyak orang tidak sadar bahwa sesuatu yang mewah dipakai orang di kota, merupakan hasil tetesan darah dari para pekerjanya. Mereka tidak saja menggadai nyawa karena kerja keras dan risiko, melainkan juga persaingan antar kekuasan politik hingga kekuatan bersenjata.
Sampai sekarang wajah dunia tidak boleh ditutupi yang begitu rupa. Konflik yang telah menyebabkan kesengsaraan manusia, namun seperti dipelihara oleh mereka yang berkepentingan. Inilah kualitas dan harga nyawa manusia.
Globalisasi telah membuat dunia kian tak berbatas. Di sisi lain, penjajahan manusia dalam berbagai bentuk semakin terbuka terjadi. Persaingan kelas dan agenda masing-masing kekuatan negara-negara, lagi-lagi menjadi gurita agenda pemanusiaan harus dikedepankan.
Itulah pemanusiaan, yang dalam konteks tadi, ia tidak berhenti pada fisik saja, melainkan juga jiwa.
Dulu, ketika masa Pak Harto, hal yang selalu diulang-ulang adalah mengenai frasa “mau tidak mau, suka tidak suka”, terkait dengan globalisasi itu. Pada masa itu, globalisasi disebut sebagai kenyataan, seolah tidak terkait kontruksi apapun, bahkan dianggap sesuatu yang berlaku secara alamiah.
Dengan konteks demikian, maka masing-masing orang juga menanggapi secara berbeda. Karena sesuatu yang nyata, maka persiapan yang harus dilakukan. Namun tak sedikit yang berpikir bahwa globalisasi upaya hegemoni, ekspansi, bahwa jalan baru bagi menguasai –sesuatu yang selalu berangkat dari mereka yang kuat kepada yang lemah; selalu berangkat dari mereka yang berada di kawasan yang dianggap sudah maju ke kawasan yang belum atau tidak maju; atau berangkat dari mereka yang masyarakatnya sudah luar biasa terhadap masyarakat yang hidupnya di bawah standar atau biasa-biasa saja.
Dalam konteks bagaimana teknologi informasi dan komunikasi berlangsung, maka sepertinya kenyataan globalisasi begitu bertumpuk. Dengan informasi, komunikasi –dan perkembangan teknologi memungkinkan orang-orang mencapai satu kondisi dalam melakukan apapun melalui dua alat ukur utama: efektivitas dan efisiensi. Mungkin untuk alasan itu, tidak ada yang terbantahkan. Di luar itu, ada kondisi lain yang sepertinya juga harus dilihat. Bahwa kesepakatan terkait dengan global dan semua sisi kehidupannya, tidak bisa selalu dilihat secara hitam putih. Ada dominasi, langsung atau tidak langsung, yang berlangsung. Atas dasar inilah selalu muncul kelompok-kelompok di luar negara yang merasa bahwa negara yang tertekan itu selalu tidak bisa menyanggah apa-apa.
Negara penghasil pangan tiba-tiba tidak berkedaulatan terhadap pangannya. Belum lagi kawasan yang memiliki banyak penduduk selalu disadar untuk menjadi target distribusi barang dagangan. Bagi pengkompetisi barang dan jasa, mungkin hanya dianggap dan berhenti pada itu. Padahal apapun, tidak lepas dari adanya gesekan sosial budaya di antara mereka yang berkompetisi.
Rasionalisasi untuk menyetujui apapun yang terkait kesepakatan terkait dengan soal ini, selalu ada dominasi satu sama lain. Inilah jalan panjang yang harus dilihat oleh banyak orang. Bahwa apapun tidak selalu berjalan secara alamiah, apa adanya. Makanya apapun selalu terbentang jalan panjang yang masing-masing orang akan menjalaninya secara berbeda.
Menarik untuk mengingat apa yang pernah ditulis oleh John Micklethwait dan Adrian Wooldridge, dalam A Future Perfect The Challenge and Hidden Promise of Globalization – sebuah buku yang sudah diterjemahkan Penerbit Obor. Dalam buku itu, mereka mengungkapkan hal yang mereka percaya dari globalisasi. Menurut mereka, globalisasi itu pokok bahasan yang penuh percekcokan, rumit, dan setiap unsurnya –dari apa yang dianggap Amerikanisasi budaya dunia sampai apa yang disebut akhir negara bangsa dan kemenangan perusahaan-perusahaan global. Ekonom meneliti gerak modal tapi mengabaikan guncangan sosial dan budaya akibat globalisasi.
Dengan demikian, bukankah semakin dahsyat tantangan dalam pemanusiaan manusia untuk menjadi manusia?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.