Pada dasarnya, rencana adalah peta. Seperti orang yang belum pernah melakukan perjalanan ke suatu tempat, kadang-kadang dibutuhkan alat bantu semacam peta. Orang yang lebih siap, akan menggunakan alat bantu lain, semisal menyewa tenaga penunjuk arah agar tempat yang dituju itu bisa diketahui secara tepat dan cepat. Penegasan tepat dan cepat ini, bagi orang modern sangat penting karena efisiensi dan efektivitas yang menjadi ukuran dari berbagai aktivitas yang dilakukan.
Orang yang memiliki alat bantu, lebih mudah dalam mencapai tujuan. Bahkan apa yang akan dilakukan, tahap demi tahap, cenderung lebih mudah dicapai dengan adanya alat bantu itu. Saya menganggap rencana itu selaras dengan alat bantu itu. Seseorang yang merencanakan sesuatu yang ingin dicapai pada waktu tertentu, pada dasarnya ingin dibantu proses pencapaiannya secara tepat dan cepat.
Sayangnya tidak semua orang memiliki rencana, baik jangka pendek apalagi jangka panjang. Sehingga menghadapi momentum tertentu, bahkan orang-orang tidak terpikir untuk membuat rencana akan mencapai target tertentu. Orang semacam ini juga biasanya akan abai akan rencana apa dalam hidup dan kehidupannya.
Padahal rencana sangat penting. Selain penuntun, ia juga penjaga semangat dalam mencapai hasil tertentu. Ingatlah, ada orang, dengan usaha kerasnya, berhasil mencapai sesuatu yang oleh orang lain dianggap sebagai ketidakmungkinan. Penggabungan antara usaha dan doa. Usaha tanpa doa adalah sombong. Sebaliknya, doa tanpa usaha, adalah sia-sia. Lihatlah bagaimana orang-orang yang berhasil mencapai apa yang diimpikan, dengan kerja kerasnya.
Satu waktu, saya mengetahui ada seorang remaja berusia 16 tahun yang cacat indera mata, berhasil menuntaskan hafalan al-Quran dalam usia 15 tahun. Ia menghafal mulai juz 30 pada usia enam tahun. Lalu diulang ke juz pertama, dari Surat Al-Fatihah secara berurut hingga juz 29. Praktis panjangnya waktu yang dilalui remaja ini adalah sembilan tahun.
Waktu sembilan tahun itu, bisa dirasionalkan dengan rumus tertentu. Jika dibagi, lama sembilan tahun itu setara dengan 108 bulan atau 3.240 hari. Jumlah muka mushaf al-Quran sekitar 600 halaman. Jika dibanding rata-rata, dalam satu hari, anak ini bisa menghafal seperlima halaman setiap hari. Memang jika diukur dengan 6.666 ayat dan 114 surat, tidak bisa diukur rata-rata karena ada ayat panjang dan ada ayat pendek. Demikian juga ada surat yang panjang dan surat yang pendek.
Begitulah jika rumus matematika dipakai. Sesuatu yang jumlahnya dibayangkan banyak, ternyata tidak kelihatan banyak. Bagi kita yang tidak menyediakan cukup waktu untuk itu, dan tidak berusaha, akan merasa sulit sekali, bahkan terkesan sangat berat. Sedangkan bagi mereka yang sudah mencoba dan mencoba, seyogianya menjadi ruang belajar bagi kita, ternyata menampakkan hal yang luar biasa dari kemauan yang kuat. Tekad yang memungkinkan seseorang mampu melakukan walau harus melawan atau melewati berbagai rintangan. Sementara orang yang tidak memiliki semangat, sedikit apapun rintangan akan menjadi seperti badai besar yang menghadang.
Banyak pengalaman yang menghafal al-Quran memiliki kemudahan dalam berbagai hal. Terutama waktu yang dibayangkan oleh banyak kita tidak tersedia yang cukup, nyatanya mereka yang sudah menghafal al-Quran juga banyak dari kalangan mereka yang super sibuk. Dokter spesialis yang padat, atau pensyarah yang waktu banyak tersita di ruang kelas, ternyata berhasil menghafal al-Quran dalam waktu yang tidak begitu lama. Dari segi tempat, mereka yang berada di kerumunan pun, ternyata bisa melakukannya. Tidak selalu hanya mereka yang berada di tempat sepi. Buktinya mereka yang sedang melaksanakan tugas pun, bisa melakukan hal ini. Barangkali, sekali lagi, karena kita selalu beralasan bahwa tidak bisa melaksanakannya. Dengan semakin sering memberi alasan, justru akan memberi kekuatan mundur. Semangat tidak akan muncul dari kita yang selalu merasa pesimis.
Remaja 16 tahun di atas, berkelamin perempuan, bukanlah orang normal. Ia memiliki masalah dengan indera. Ia tidak merasa kekurangan indera ketika ia bertekad melakukan itu. Bahkan ia merasa bahagia kemana-mana dan jauh dari kesan bahwa ia merasa berkekurangan dengan itu.
Kita yang menganggap seseorang yang secara fisik bermasalah dengan panca indera, ternyata tidak semua mereka merasa menderita. Mereka justru merasa bahagia. Ada orang yang pada posisi demikian, justru tidak mau menikmati berbagai hal menyedihkan di dunia –dimana banyak orang menggunakan indera untuk menikmati berbagai hal yang tidak pada tempatnya.
Nah, orang yang secara fisik berkekurangan saja bisa melakukannya secara tuntas, seharusnya, apalagi kita. Kenyataannya tidak demikian. Orang yang berkekurangan di mata kita sebagai manusia, ternyata berbeda jauh dengan hakikinya. Orang-orang yang demikian justru sebagai orang yang berkelebihan.
Orang yang dari segi fisik sempurna, harus belajar banyak dari orang seperti ini. Momentum bulan ini menjadi sangat bagus melakukan refleksi akan keberadaan mereka yang tidak sempurna. Penilaian kesempurnaan sama sekali tak boleh berhenti pada aras fisik, melainkan juga batin. Kebahagiaan, jalan baik, masa depan yang berkemungkinan cerah, tidak ditentukan oleh kesempurnaan fisik, tetapi bagaimana dengan fisik kita memosisikan diri sebagai makhluk yang selalu beribadah.
Ada satu pertanyaan penting yang seharusnya kita tanyakan selaku orang mendekati sempurna: apa yang dilakukan sehingga ia mencapai sesuatu yang luar biasa? Saya merasa ia memiliki rencana yang matang dalam berbagai proses yang dilaluinya.
Minimal, marilah kita membuat rencana di waktu yang tersisa pada bulan suci ini. Kini, sudah 10 hari Ramadhan. Mari kita rumus rencana bagi yang belum punya, atau harus berani lakukan refleksi bagi yang sudah siap. Semangatnya adalah terbuka peluang untuk kita capai setinggi-tingginya hasil di bulan suci ini. Hasil dari berbagai ibadah dalam bulan ini, akan dicapai maksimal dengan tahapan perencanaan yang matang. Sesuatu yang terjal, bukan tidak mungkin dicapai dengan sempurna.
Dengan melakukan refleksi, kita bisa memetakan jalan apa yang akan ditempuh untuk target yang belum dicapai. Mari kita bayangkan orang yang berkekurangan secara fisik saja bisa lebih sempurna dari kita yang lengkap secara fisik.