Bagi mereka yang gemar melakukannya, membaca itu ibarat gizi. Namun mereka yang jarang, membaca mirip sebagai sumber energi yang akan membuat orang tidak mampu melakukan apa-apa jika tidak melakukannya.
Semua hal harus dibaca. Membaca teks maupun konteks. Membaca buku maupun membaca kehidupan sebagai sumber inspirasi berbagai buku. Ada orang yang hanya mampu membaca teks, namun tertidur ketika membaca konteks. Pun tidak sedikit mereka yang hanya mampu membaca konteks, namun menutup diri dari membaca teks.
Proses demikian harus dijalani. Teks dan konteks. Dengan posisi hidup sebagai proses belajar, seseorang harus selalu berusaha untuk menyempurnakan hidup. Tidak boleh berhenti pada hidup yang biasa-biasa saja. Kualitas hidup yang lebih baik harus diusahakan untuk diraih.
Salah satu cara meraih itu adalah dengan membaca. Seorang yang banyak membaca berbeda dengan mereka yang jarang membaca. Ada orang yang akan jujur bahwa dirinya kurang membaca, namun tak sedikit yang mempertahankan diri, seolah-olah sudah banyak membaca.
Saya masuk dalam kategori pertama, bukan orang yang banyak membaca. Makanya ilmu dan pengetahuan terhadap banyak hal masih sangat kurang dan terbatas. Membaca dalam konteks ini bisa apa saja. Bahkan ketika menjalani pendidikan pun, membaca sangat terbatas, apalagi mungkin dalam kondisi yang lain.
Semacam kondisi di tanah kita yang sangat banyak warung kopi ketimbang tempat memperdalam bacaan. Akan tetapi bagi orang yang berusaha, di mana pun bisa membaca. Bahkan di warung kopi pun bisa membaca. Justru lebih hebat, karena menggunakan warung kopi tidak sebatas hanya untuk menikmati kopi dan saling bertemu. Katakanlah semacam ruang sosial baru yang mempertemukan banyak corak. Di tempat ini menjadi sangat terbuka bertemunya berbagai wajah orang, dengan berbagai lapisan strata.
Ada kota yang sedang mengkampanyekan banyak tempat untuk membaca. Bahkan di tempat yang semacam warung kopi pun disulap dengan disediakan banyak bahan bacaan. Mirip seperti tempat berekreasi, maka membaca pun bisa menjadi alternatif rekreasi baru dalam kehidupan manusia. Dengan berbagai tempat yang tersedia dan terakses, maka membaca pun menjadi sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Begitulah ketika orang mau memanfaatkan membaca untuk memperdalam ilmu dan pengetahuannya. Biasanya orang yang merasa haus ilmu dan pengetahuan, maka semakin membaca, orang seperti ini semakin merasa dirinya kurang. Seperti digambarkan melalui ungkapan-ungkapan bijak, tipe orang yang demikian, setiap memperoleh ilmu baru, semakin ia merasa berkekurangan. Dengan merasa berkekurangan itu, maka ia akan berusaha bersikap lebih baik dan merasa selalu lebih kurang dari yang lain. Maka orang yang dari segi ilmu dan pengetahuan terus berproses, potensi untuk mencapai derajat yang lebih tinggi akan semakin terbuka. Pada saat yang sama, karena merasa berkekurangan, menuntunnya dalam bersikap. Semakin berisi, semakin menunduk. Dalam ungkapan disebut sebagai ilmu padi.
Orang yang berkemampuan ilmu dan pengetahuan yang lebih, seharusnya memang semakin memiliki sikap yang seperti padi itu. Tidak justru semakin angkuh dan sombong. Orang yang yang memiliki tipe terakhir ini, mengingkari dari tujuan menguasai ilmu dan pengetahuan. Apalagi kalau ada orang yang angkuh dan sombong bahkan tidak memiliki ilmu dan pengetahuan yang cukup, melainkan hanya pura-pura saja berilmu.
Yang terakhir tersebut yang terasa banyak jumlahnya. Tidak banyak tahu, tetapi merasa seperti banyak tahu. Makanya selalu berusaha berdebat dengan berbagai cara. Tidak mau mundur walau menyadari dari segi ilmu kurang. Kita tidak sadar bahwa bisa jadi kita, termasuk saya, barangkali termasuk dalam golongan yang saya sebut terakhir. Apabila kita menyadari, harus secepatnya kita mengubah sikap.
Semua kita harus membaca kehidupan agar meraih kualitas yang lebih baik pada masa mendatang.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.