Suatu kali, seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis online, mempertanyakan tentang berbagai kompensasi dari pekerjaannya. Sebagai pekerja, ia ingin mengingatkan pimpinannya bahwa semua orang ada hak dan kewajiban. Tidak sedikit mereka yang menunaikan kewajiban dengan tekun, namun harus sabar ketika berbicara hak.
Para pencatat, yang sangat tekun dalam menyelesaikan orang lain, ternyata sebagian masih mengalami masalah. Logika itu yang sepertinya ingin disampaikan. Secara sederhana, banyak masalah orang lain bisa dikomunikasikan, namun tertutup untuk masalah sendiri. Bukankah kesejahteraan sendiri juga harus terjaga?
Untuk perusahaan yang memperhatikan pekerjanya, mungkin tidak terlalu masalah. Namun ada perusahaan yang sangat main hitung-hitung saat menghitung hak orang lain. Pekerja dituntut bekerja maksimal, dan dipotong ini dan itu jika sedikit saja ada yang kurang dari kewajiban mereka. Sayangnya rumus demikian tidak berlangsung saat berhadapan dengan kewajiban mereka.
Pekerja sebagai pencatat atau profesi lain, yang jelas ada hak dan kewajiban yang selalu harus seimbang. Tiap tahun, inilah yang sering dipermasalahkan. Bertahun-tahun ada demo buruh. Ada banyak hal yang dituntut. Melemahnya nilai uang, dianggap berimplikasi pada posisi buruh, disebabkan mulai ada perusahaan yang menurunkan jumlah buruh disebabkan biaya produksi yang tidak seimbang. Persoalan lain menyangkut upah. Masalah lain adalah terbukanya berbagai mekanisme hubungan buruh dengan perusahaan. Pemerintah diharapkan mengambil peran yang lebih dalam menertibkan hubungan tersebut.
Tidak ada yang salah dengan posisi buruh. Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain, termasuk perusahaan, dengan maksud untuk mendapatkan upah. Buruh adalah pekerja. Sebagaimana dalam kamus, istilah ini memang kompleks. Pekerja berasal dari kata “kerja”, yang bermakna kegiatan melakukan sesuatu. Kerja juga bermakna melakukan sesuatu untuk mencari nafkah atau sebagai mata pencaharian. Sedangkan pekerja adalah mereka yang bekerja, atau mereka yang menerima upah atas hasil kerjanya. Dalam bahasa yang lebih keren, ada yang menyebut karyawan. Yang disebut terakhir ini, sebenarnya makna sama saja, adalah mereka yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji atau upah. Kata ini sepadan dengan pegawai.
Namun yang jelas, buruh, pekerja, karyawan, atau apapun namanya, adalah mereka yang melakukan pekerjaan tertentu, sebagai tugas dan kewajiban dengan kompensasi upah. Diharapkan hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan dengan yang memberi pekerjaan berlangsung secara manusiawi. Prinsip dasarnya sesungguhnya harus diperhatikan untuk membayar upah sebelum keringatnya kering.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka konsep upah juga terus berubah. Upah tidak lagi hanya sebatas pada uang dengan nominal tertentu yang dibayar. Ia juga bisa lebih melebar menjadi asuransi tertentu, dan termasuk tunjangan tertentu yang di luar uang. Termasuk adanya proteksi posisi buruh untuk tidak diperlakukan semena-mena.
Dalam hal ini, kata semena-mena bisa sangat luas maksud. Ia bisa merepresentasikan kepada upaya memperlakukan buruh dengan konsep hubungan manusia dan manusia. Buruh tidak boleh diperlakukan seperti mesin, yang tugasnya hanya menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh para pemberi kerja. Hanya karena buruh membutuhkan upah sebagai kompensasi, tidak lantas menjadikannya sebagai unsur kelas dua. Karena pada dasarnya antara buruh dan perusahaan memiliki hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Dengan logika begini, maka buruh tidak bisa seenaknya dikeluarkan, atau status buruh tidak bisa sesuai dengan selera pemberi kerja semata.
Sesungguhnya dengan memahami bagaimana memperlakukan manusia, maka tuntut-menuntut tidak akan terjadi. Pemahaman menghargai manusia sebagai manusia, akan menempatkan posisi pemberi kerja sebagai pihak yang paling mengerti, bahwa apapun yang dibutuhkan bagi kesuksesan usahanya, tidak mungkin dilakukan tanpa buruh. Ketika suatu waktu mesin mengganti manusia, tidak bisa ia akan bisa mengganti seutuhnya jiwa dan raga. Ada banyak hal yang dimiliki manusia yang tidak tergantikan.
Ada masalah jiwa yang juga harus diresapi. Kegagalan memahami posisi manusia dan kemanusiaan, sering membuat kita semena-mena.