Dalam buku Teks dan Konteks Bekerjanya Hukum (Tripa, 2022), saya menulis sejumlah data terkait dengan penegakan hukum –sekaligus untuk mempertegas betapa rumit dan sulitnya mencapai tujuan-tujuan negara hukum secara sempurna. Sebagaimana konsep dasarnya dari Dicey yang menyebut paling tidak tiga syarat penting untuk bisa disebut sebut negara sebagai negara hukum, yakni: (1) supremacy of law; (2) equality before the law; (3) due process of law (Dicey, 2015).
Ada satu hal yang kerap tidak diberi catatan secara maksimal saat berbicara Dicey, yakni pada cara berpikirnya dari tradisi Anglo Saxon –atau negara yang menyebut the rule of law untuk menegaskan adanya negara hukum. Hal ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir tradisi civil law. Atas dasar itulah, mendudukkan pikiran Stahl, pada titik yang lain, dalam melihat negara hukum, juga sangat penting agar mendapat perbandingan dengan baik (Asshiddiqie, 2005).
Mengapa negara hukum? Wahyudi Djafar, seorang peneliti pada Perkumpulan Demos –Center for Democracy and Human Rights Studies—yang juga seorang advokat publik, mengingatkan jangan lupakan gagasan awal. Bila dilacak akarnya, gagasan tentang negara hukum adalah kelanjutan dari pemikiran tentang pembatasan kekuasaan, sebagai sealah satu prinsip dari konstitusionalisme-demokrasi. Inti dari pemikiran tentang negara hukum, adalah adanya pembatasan terhadap kekuasaan. Lebih kongkret, suatu negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme jikalau lembaga-lembaga negara dan proses politik dalam negara tersebut secara efektif dibatasasi oleh konstitusi (Djafar, 2010).
Catatan tentang negara hukum ini tidak boleh dilupakan, walau di atas saya tegaskan bahwa alam realitas kerap menunjukkan kesenjangan antara negara hukum atau bukan negara hukum. Cara berpikir normatif. dalam Asas fictie hukum, Iedereen wordht geacht de wet te kennen, setiap orang dianggap mengetahui hukum, oleh karena itu tidak ada alasan bagi yang melanggar hukum bahwa ia tidak mengetahui hukum yang dilanggarnya. Ketika suatu hukum, tepatnya undang-undang itu diundangkan, maka isinya sudah mengikat umum. Maka tidak boleh seorang pun akan menyela dengan menyebut sebagai orang yang tidak sampai informasinya tentang hukum.
Berbicara konteks rakyat, sangat kongkret demikian. Lantas dalam ranah empiris, tidak boleh dilupakan betapa kasus-kasus hukum terjadi dan tampak kita seperti bukan sedang berada dalam negara hukum. Buku Elegi Penegakan Hukum yang pernah diterbitkan Kompas, menggambarkan kondisi yang saya sebut. Sampul buku ini, jika dilihat dari titik tolak hukum perspektif norma, sungguh begitu menyentak. Akan tetapi, jika titik tolaknya digeser ke posisi hukum perspektif realitas, ia sungguh tidak lagi aneh. Diangkat dari kumpulan berita Harian Kompas tentang kisah miris orang kecil berhadapan dengan hukum, Elegi Penegakan Hukum, Kisah Sum Kuning, Prita, hingga Janda Pahlawan.
Tertulis di sampul belakang, “karut marut penegakan hukum di tanah air merupakan elegi yang tidak berkesudahan. Perangkat hukum hanya merupakan alat permainan penguasa yang bisa diputar balik sesuka hati”. Selanjutnya, tertulis, “apalagi bila menimpa wong cilik yang lemah dan buta hukum, maka penegak hukum yang sangat fasih berbicara hukum pasal dapat memanfaatkan mereka yang lemah, sehingga keadilan dan kebenaran yang didambakan sulit tercapai”. Sedangkan pada halaman depan tertulis, “kisah anak manusia berhadapan dengan hukum dan aparat penegak hukum. Manusia yang lemah harus berhadapan dengan praktik penegakan hukum yang karut marut yang sekedar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial” (Tanuredjo, 2010).
Sebagai orang yang mengajar sejumlah mata kuliah yang terkait dengan hukum dan masyarakat, tentu ia sangat menarik. Tampak ada 12 kasus yang diangkat di dalamnya. Saya hitung, 12 kasus itu diulas dalam 79 berita Harian Kompas, ada tiga berita Tempo, serta tiga referensi (Kamadjaja, 1971; Zara, 2007; Masardi, 1997). Dari sebanyak berita itu, jika dibagi, maka tiga kasus yang paling banyak mendapat perhatian –dilihat dari jumlah pemberitaan adalah kisah Sum Kuning, Marsinah, dan Fuad Muhammad Syafruddin.
Sum Kuning, korban perkosaan bernama Sumarijem, gadis 17 tahun diperkosa 21 September 1970. Ia tiap hari harus menempuh 1,5 kilometer dari desa Sidokarto (Sleman) menuju jalan utama yang ada kendaraan menuju Yogyakarta, untuk menjual telur ayam kampung. Ia dinaikkan ke mobil oleh empat pemuda, setelah diperkosa ditinggalkan begitu saja. Namun dalam perjalanan kasusnya, pengakuan ia diperkosa yang dibuktikan dengan visum et repertum dokter Kasmolo Paulus, dianggap oleh polisi menyebarkan kabar bohong dan membuat keonaran (Pasal 14 ayat [2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 61 KUHP).
Sedangkan Marsinah, aktivis buruh yang memperjuangkan kenaikan gaji, ditemukan tewas mengenaskan pada 9 Mei 1993, setelah unjuk rasa dan mogok kerja 3 dan 4 Mei 1993. Ia bekerja pada PT. Catur Putra Surya Sidoardjo. Dalam persidangan mengemuka pengaruh aktivitas sebagai aktivis buruh terhadap apa yang dialaminya.
Sementara Fuad Muhammad Syafrudin adalah wartawan Harian Umum Bernas Yogyakarta, meninggal 16 Agustus 1996 setelah dirawat di rumah sakit tiga hari akibat dianiaya. Diyakini apa yang menimpanya disebabkan berita yang ditulisnya, terkait penyunatan dana inpres desa tertinggal, kemenangan partai tertentu, dan kasus yang menimpa penguasa Bantul waktu itu.
Apa yang menarik bagi hukum terkait catatan-catatan ini? Ternyata dalam rangka proses rasionalisasi kasus yang terjadi masing-masing, berlangsung serangkaian “peradilan sesat” versi Indonesia. Satu buku yang ditulis Hermann Mostar, berisi 13 cerita peradilan sesat dalam kurun waktu 1834-1946. Buku ini diterbitkan dan dialihbahasakan ke bahasa Indonesia tahun 1983 (Mostar, 1983). Menurut buku tersebut, “skenario cerita pidana dilakukan berbagai cara, sehingga yang tidak bersalah dijatuhi hukuman. Praktik seperti ini bukan karena kekhilafan manusia, tetapi terjadi karena unsur kesengajaan dari aparat penegak hukum dengan berbagai tujuan. Ada yang semata-mata asal mengungkap, tetapi ada juga yang dirancang justru untuk menutupi pelaku sebenarnya”.
Kasus-kasus mutakhir memperlihatkan apa yang disebut Mostar sebagai “bukan kekhilafan”. Ini pula yang digugat para pecinta negara yang melihat bagaimana kekuasaan menggunakan segala daya upaya untuk kepentingan politik sempit pribadi dan keluarganya –kondisi yang bisa tidak termaafkan sampai kapan pun.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.