Akses terhadap Bantuan Hukum

Bantuan hukum –sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum—idealnya sebagai hak konstitusional yang bisa didapatkan dengan mudah. Ada jaminan negara dalam menjamin hak konstitusional ini untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian …

Bantuan hukum –sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum—idealnya sebagai hak konstitusional yang bisa didapatkan dengan mudah. Ada jaminan negara dalam menjamin hak konstitusional ini untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana hak asasi manusia. Selain itu, negara juga bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Sarana perwujudan diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudkan perubahan sosial yang berkeadilan. Penegasan itu, sebagai alasan pentingnya Undang-Undang Bantuan Hukum dihadirkan.

Pencari keadilan yang tidak mampu atau miskin harus mendapatkan bantuan hukum dalam proses hukum untuk mencari keadilan (Ramdan, 2014). M. Yahya Harahap, dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, menyebutkan tiga istilah yang berbeda dari definisi bantuan hukum. Pertama, legal aid, pemberian jasa hukum kepada seseorang yang terlibat suatu perkara secara cuma-cuma dan dikhususnya bagi masyarakat miskin. Kedua, legal assistance, jasa hukum yang tidak hanya diberikan kepada masyarakat miskin, atas hal tersebut masyarakat membayar sejumlah prestasi. Ketiga, legal service, bantuan hukum dimaksudkan untuk menghapus perilaku kriminal bagi masyarakat berpenghasilan kecil (Harahap, 2007).

Bantuan hukum yang diteaskan sebagai hak konstitusional, dalam konstitusi sesungguhnya terbagi dalam lima domain. Pertama, penegasan bahwa setiap warga bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan permerintahan itu dengan tidak ada kecualianya (Pasal 27 ayat 1)). Kedua, penegasan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1)). Ketiga, penegasan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat (2)). Keempat, penegasan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, yang mana untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia harus sesuai dengan prinsip negara yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5)). Kelima, penegasan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, yang ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam undang-undang (Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4)).

Selain Undang-Undang Bantuan Hukum, sejumlah undang-undang lain menegaskan posisi ini, antara lain. Pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 56). Kedua Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang menegaskan setiap pengadilan negeri dibentuk jenis pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 68C). ketiga, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang menegaskan setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 60B). Keempat, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menegaskan bahwa di pengadilan ini juga dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 144D).

Secara yuridis, penegasan terkait bagaimana posisi bantuan hukum itu sudah sangat jelas. Sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, bahwa yang disebut sebagai bantuan hukum adalah jasa yang diberikan pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum, dalam hal ini orang atau kelompok masyarakat miskin.

Dalam undang-undang juga ditegaskan terkait penyelenggaraan bantuan hukum yang bertujuan: (a) menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; (b) mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; (c) menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan (d) mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam praktik, akses ini bukan jalan mudah. Harian Kompas edisi 4 Agustus 2024, menguraikan temuan penting, “Jalan terjal pembela hukum orang kecil”. Negara menjamin bantuan hukum bagi warga miskin. Ironisnya, pemberi bantuan hukum harus nombok akibat anggaran terbatas. Pemberi bantuan hukum ini dilakukan lembaga bantuan hukum –dengan verifikasi tertentu (Kumalasanti, Salam, & Martiar, 2024).

Ditegaskan dalam Kompas, negara menjamin tersedianya pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan melalui lembaga bantuan hukum. Namun selama ini, keterbatasan anggaran menjadi kendala. Anggaran bantuan hukum yang terbatas membuat para pemberi bantuan hukum harus nombok untuk membiaya operasional perkara yang ditangani. Berbelitnya prosedur untuk memperoleh anggaran pun membuat para pemberi bantuan hukum harus membiayai terlebih dahulu perkara klien yang ditangani.

Proses penyelenggaraan bantuan hukum tersebut di bawah Badan Pembinaan Hukum Nasional. Terdapat 619 organisasi bantuan hukum yang terlibat, dengan besaran anggaran bantuan untuk litigasi Rp 8 juta (yang terbagi untuk penyidikan/gugatan Rp 2 juga, persidangan tingkat pertama Rp 3 juta, banding Rp 1 juta, kasasi Rp 1 juta, dan peninjauan kembali Rp 1 juta).

Sepanjang 22-24 Juli 2024, Litbang Kompas membuat survei sederhana untuk menguji layanan hukum gratis. Hasilnya, enam dari sepuluh responden tidak mengetahui sama sekali bahwa ada bantuan hukum yang bisa diakses gratis. Dari empat responden yang tahu ada bantuan hukum gratis, tiga responden takt ahu cara mengaksesnya. Pada sisi lain, tingginya angka kriminal yang terjadi. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri, selama tahun 2023, terdapat 435.085 perkara kriminal, dengan jumlah perkara terbanyak pencurian yang menimbulkan cedera hingga kematian pada korban, penipuan, pencurian biasa, hingga pencurian sepeda motor. Jika dirata-rata, tak kurang dari 11.000 perkara di tiap provinsi pada tahun lalu (Kumalasanti, Salam, & Martiar, 2024).

Dengan kondisi di atas, sudah pada tempatnya penyelenggara negara menyiapkan diri dengan baik. Menyiapkan layanan dalam rangka memudahkan jalan bagi mereka yang mencari keadilan, namun tidak mampu, tidak saja menjadi jawaban apa yang ditegaskan negara dalam konstitusi, melainkan juga keberadaan kita dalam memuliakan keadilan itu sendiri.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment