Ada satu hal yang digelisahkan Bivitri Susanti, dalam artikelnya di Kompas, 28 Desember 2023. Menurutnya, belakangan ini hukum sering kali dijadikan perisai dari pertanyaan soal benar dan salah. Seolah-seolah, bila diatur hukum, ia menjadi benar. Sebaliknya, sesuatu yang tidak diatur hukum, maka boleh saja dilakukan karena tidak ada larangan tertulis. Luput disadari bahwa hukum tidak jatuh dari langit, seperti hujan yang jatuh dari awan kebaikan. Hukum adalah hasil karya manusia, yang penuh kepentingan (Susanti, 2023).
Artikel ini, yang saya tangkap, mempersoalkan antara lain soal yang mana disebut negara hukum itu, ketika dilihat dalam makna yang disebutkan di atas. bahkan menurutnya, “hukum lazim dipahami sebagai peraturan, putusan pengadilan, aparat penegak hukum, dan apa pun yang diputuskan penguasa. Hukum bersifat memaksa pada penduduk sebuah negara karena ia dibuat dalam sebuah produk dari kekuasaan yang sah. Bahkan hukum bisa menjadi lebih keras ketika mengandung ancaman pidana, seperti penjara, denda, atau sanksi administratif. Namun negara hukum bukan sekedar negara yang didasarkan pada hukum negara”.
Alasan penting yang disebut Bivitri adalah pentingnya timbangan tentang benar dan salah yang dinamai etik. Karena bila kebenaran tindakan seseorang hanya didasarkan pada norma hukum negara tertulis, kita telah melecehkan esensi manusia sebagai makhluk berakal budi. Sebab, menurutnya, justru nilai-nilai kebenaran dan keadilan ini yang dituangkan dalam norma hukum negara, bukan sebaliknya: hukum yang menentukan benar dan salah.
Kritik ini dapat dipahami, antara lain jika melihat konteks pelaksanaan kekuasaan pada akhir periode kedua kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Dengan kondisi kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang nyaris sempurna menyatu, tidak ada hambatan untuk melakukan hal-hal yang disebut Bivitri sebagai etik. Dengan berpatokan pada perundang-undangan yang dibentuk, sungguh tidak cukup saat kekuasaan sedang berlangsung maksimal.
Amir Syamsuddin menulis, ada problem moral dalam penegakan hukum. Dalam artikelnya di Kompas, 13 Agustus 2021, menegaskan “kita menginginkan hukum yang menentukan eksistensi dari kekuasaan dan hukum dibuat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan kepentingan penguasa atau elite (Syamsuddin, 2021).
Lantas Syamsuddin menunjukkan kondisi penegakan hukum di era pemerintahan Joko Widodo yang kedua perlu mendapat perhatian publik. Mulai dari pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law), sampai Statuta Universitas Indonesia. Semua itu, menurut Syamsuddin, menjadi periode pembentukan undang-undang yang penuh kontroversi dan berpotensi menimbulkan problem penegakan hukum. Ia menegaskan, “tentu saja pembentukan undang-undang di aatas didahului dengan isu-isu kontroversial terkait perilaku penguasa yang berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang otoritarian, sewenang-wenang, tak adil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum”.
Saya kira sejumlah artikel hukum memberi aba-aba betapa negara hukum itu harus dirawat. Apalagi dengan kondisi lima tahun terakhir, terjadi sejumlah gangguan terhadap hukum dan proses berhukum. Sejumlah hal yang dilakukan kekuasaan menghancurkan sendi-sendi negara hukum. Bukan perkara mudah, untuk mengingatkan kekuasaan agar mengingat negara ini adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebagai salah satu syarat dalam negara hukum, berupa perundang-undangan, maka ia harus direalisasikan dengan penuh rasa keadilan.
Saya teringat apa yang pernah ditulis mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Profesor Jimly Asshiddiqie, dalam “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, menyebutkan prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.