Belajar dari Beredel Tempo

Majalah Tempo pernah merasakan bredel pada tanggal 21 Juni 1994. Ada tiga media pada waktu itu. Selain majalah Tempo, ada tabloid Detik dan majalah Editorial. Beredel dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Sejarah yang menarik, ketika …

Majalah Tempo pernah merasakan bredel pada tanggal 21 Juni 1994. Ada tiga media pada waktu itu. Selain majalah Tempo, ada tabloid Detik dan majalah Editorial. Beredel dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Sejarah yang menarik, ketika majalah Tempo menggunakan jalur elegan untuk melawan otoriternya pemerintah waktu itu. Tempo menempuh jalur pengadilan.

Selain ketiga media di atas, kabarnya Sinar Harapan juga mengalami sejumlah kali beredel. Koran sore yang terbit pertama kali pada tanggal 27 April 1961 itu, karena beritanya, penguasa menghentikan koran tersebut. Koran ini sendiri terbit edisi terakhiar pada 1 Januari 2016.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerjemahkan “beredel” dengan “tutup; cabut (tentang pers)”. Dalam makna yang lain, “beredel” diartiken sebagai “menghnetikan penerbitan dan peredaran (surat kabar, majalah, dan sebagainya) secara paksa’ memberangus”.

Menurut Kompas edisi 22 Juni 1994, pembedelan majalah Tempo dengan mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) –yang disampaikan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Subrata, disebabkan majalah tersebut menaikkan berita tentang dugaan korupsi pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Departemen Penerangan menganggap pemberitaan itu menyalahi aturan karena membahayakan stabilitas nasional.

Berdasarkan versis Departemen Penerangan, makalah Tempo sudah diperingatkan baik secara lisan maupun tertulis. Sebanyak enam kali diingatkan secara tertulis, tiga kali peringatan keras, dan 33 kali peringatan lisan. Sedangkan versi Tempo, tidak ada peringatan pemerintah sebelum beredel. Dengan diberedel, ada lebih 450 tenaga yang bernaung di bawah Tempo kehilangan pekerjaan (Sulistiyawan & Erdianto, 2023).

Setelah pengumuman pemberedelan, Tempo mengadakan pertemuan dengan aktivis hak asasi manusia (Todung Mulya Lubis) dan Ketua Dewa Pengurus YLBHI (Adnan Buyung Nasution). Merela membahas langkah-langkah yang akan diambil, lebih kepada langkah hukum. Tempo berada di bawah PT. Arsa Raya Perdana, dengan dipimpin Goenawan Mohammad.

Menurut Kompas ediri 6 Oktober 1998, majalah Tempo kembali hadir setelah diberedel 21 Juni 1994. Edisi perdana setelah Reformasi, terbit pada 6 Oktober 1998. Majalah Tempo dicetak 130 ribu eksempelar, dengan 35 halaman. Tempo menyajikan gaya analisis yang tajam dan kritis, dengan konsep jurnalisme yang dikembangkan dilandasi semangat tak ingin memonopoli kebenaran (Sulistiyawan & Erdianto, 2023).

Salah seorang yang menulis tentang majalah Tempo adalah Janet E. Steele, seorang profesor jurnalisme di sekolah jurnalisme di Universitas George Washington. Ia menyelesaikan doktoralnya di Amrizan Cultural History, Johns Hopkins University. Ia menerbitkan artikel-artikelnya tentang surat kabar di Indonesia dalam sebuah buku khusus, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (2005). Iquinox Pub.

Menurut Steele, pemberedelan majalah Tempo merupakan akumulasi dari ketidaksukaan Soeharto terhadap media ini. Majalah Tempo dianggap menganggu stabilitas nasional dan tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab melalui pembelian kapal perang eks Jerman Timur, terutama soal penyediaan dananya (Muhid, Pudjiarti, & Pranata, 2024).

Dalam bukunya, Steele memuji bagaimana Tempo mempersiapkan reporternya. Termasuk bagaimana skema kerja yang mesti dilakukan oleh mereka. Ia menulis, “New reporters were alse introduced to the various of Tempo’s business organization. By the end of the week participants had been deluged with flow chart that illustrated everything from the magazines overall system of organization and management to the way in which stories are assigned and how story ideas more through various levels of reporting”.

Ia mendalami apa yang dipelajari wartawan baru tentang menjadi wartawan Tempo? Mereka belajar bahwa mereka akan dituntut untuk memiliki standar yang lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka di media Indonesia. Para wartawan Tempo diharapkan untuk mendapatkan berbagai pandangan dan mencari materi dari banyak sumber. Tulis Steele, “What do the new reporters learn about being a Tempo journalist? They learn that they will be held to a higher standard than virtually any of their peers in the Indonesian media. Tempo reposters are expected to get a variety of views ans seek out material from many sources”.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment