Jangan Pernah Berhenti Mengkritik Demi Bangsa

Bisa jadi, apa yang ingin saya sampaikan ini terkait dengan cara pandang kita yang berbeda. Pasti tidak semua setuju denga napa yang saya sampaikan. Saya ingin menegaskan soal cinta terhadap negara, yang salah satu salurannya …

Bisa jadi, apa yang ingin saya sampaikan ini terkait dengan cara pandang kita yang berbeda. Pasti tidak semua setuju denga napa yang saya sampaikan. Saya ingin menegaskan soal cinta terhadap negara, yang salah satu salurannya adalah melalui kritik. Mereka yang melakukan kritik, pada dasarnya sedang berusaha menyampaikan kecintaannya kepada negara. Kritik –yang orangnya disebut sebagai kritis—untuk kebaikan, menjadi cermin seseorang yang mencintai negaranya.

Merujuk pada apa yang dibukukan oleh AJI dalam bukunya Seri Reformasi Kebijakan Media Seri II, Kasus Pencemaran Nama, antara lain menegaskan soal cinta (Margiyono, 2010). Saya kira juga soal cinta, ketika Alviani Sabillah dan Bugivia Maharasi Setiadji Putri sampai menulis Amicus Curiae, untuk menegaskan ruang kebebasan sipil dalam belenggu pasal-pasal karet (Sabillah & Putri, 2023).

Episode paling sulit, barangkali semua orang yang mencintai negara tersebut sedag mengingat kita semua soal posisi Indonesia sebagai negara yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam konstitusi, hal itu ditegaskan dengan baik. ruang kebebasan berekspresi, dijamin dalam konstitusi, yang kadang terbentur dalam realitas. Dengan demikian, para pembentuk konstitusi kita menyadari betul soal hak-hak dasar yang dimiliki dan tidak boleh terkurangi dalam keadaan apa pun.

Dua alam bisa bertolak belakang pada keadaan tertentu. Apa yang tertera dalam konstitusi, belum tentu sama persis saat implementasi. Secara normatif sangat agung, namun dalam realitas, kadang kala tidak begitu adanya. Saya teringat apa yang digambarkan Dhimas Ginanjar pada awal 2021, yang menulis opini pada Harian Jawa Pos, “Dilema Mengkritik Pemerintah”. Menurutnya, kadang kala kita merasa bersyukur ada pemimpin yang selalu berharap dikritik rakyat. Terkesan bahwa ada presiden yang selalu menunggu untuk dikritik. Akan tetapi berapa banyak orang-orang yang justru mendapat bui gara-gara itu (Ginanjar, 2021).

Kondisi tersebut juga pernah disampaikan seorang dosen Universitas Padjadjaran, Mahi M. Hikmat. Ia prihatin atas keterbukaan Presiden Joko Widodo saat masih menjabat. Keterbukaan presiden atas berbagai kritik, yang selalu diungkapkan di ruang publik, bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Sejumlah orang harus berurusan dengan hukum karena mengkritik. Bahkan dengan merujuk data Kontras, hingga Oktober 2020, sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang diproses karena mengkritik presiden. Kemudian ada 14 peristiwa dan 25 orang mengkritik polisi. Serta epat peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda (Hikmat, 2021).

Penguasa yang memahami bahwa kritik sebagai jalan untuk menjaga agar kekuasaan negara berjalan sesuai dengan relnya, maka kritik itu tidak akan dianggap membahayakan. Justru pengelola negara akan merasa bahaya jika tanpa kritik. Negara-negara maju, akan merasa bertanya-tanya jika negaranya sepi dari kritik. Ada negara yang penguasanya sudah merasa kritik sebagai barometer, bahwa orang-orang banyak, publik, mencintai mereka dengan baik.

Melakukan kritik pun harus dengan penuh kesantunan –yang ukurannya juga harus jelas dan kongkret. Batas-batas ini harus menggunakan logika yang benar. Jangan gara-gara mengatasnamakan kesantunan, apapun yang dikritik berubah menjadi tunduhan antisantun. Jika kondisi ini terjadi, maka sama persis seperti orang mengganggap kritik sama seperti hina. Padahal kedua konsep tersebut sangat berbeda.

Jangan sampai orang-orang yang tidak berani dikritik, dan tidak mau menerima kritik karena keberadaan sebagai penguasa, lalu membelokkan kritik itu sebagai menghina atau bahkan merendahkan harkat dan martabat. Jalan demikian, saya yakin tidak akan dipilih oleh bangsa-bangsa beradab.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment