Kata-kata “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)”, dapat ditemui pada Penjelasan Undang-Undang dasar 1945 sebelum amandemen. Ada pada bagian Sistem Pemerintahan. Sedangkan terkait sistem konsitusional, dalam penjelasan juga menegaskan bahwa “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas)”.
Saya kira para Bapak Bangsa sangat menyadari potensi penggunaan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Makanya ketika konstitusi dibangun, hal ini ditegaskan, terutama pada UUD 1945 sebelum amandemen. Walau sampai kapan pun, sesungguhnya penjelasan tetap dibutuhkan. Teks pasal-pasal dari konstitusi, tidak semuanya bisa dipahami dengan mudah. Pemahaman secara mendalam terhadap ide-ide dan norma, dari pokok pikiran yang dibangun, sangat penting terjelaskan dengan baik. Hakikatnya penjelasan tersebut dibutuhkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang jelas dari teks dan konteks filosofis, historis, bahkan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya.
Secara epistemologis, pemahaman sangat dibutuhkan untuk menghindari adanya perbedaan dari berbagai level berpikir. Antara konteks suatu periode sejarah hingga membangun teksnya, kemudian bagaimana antara konteks suatu masa itu ditafsirkan yang sama oleh generasi kemudian terhadap teks yang dibangun. Itu dalam hal pemahaman dan pemaknaan teks. Belum lagi ketika berbicara bagaimana teks yang sudah disusun itu dilaksanakan oleh para elemen bangsa.
Kita bisa membayangkan bagaimana usaha yang dibutuhkan untuk memahami substansi teks secara utuh. Jadi antara teks, dengan pemahaman (bagaimana teks itu dipahami) saja, berkemungkinan berbeda. Masing-masing ahli akan dihadirkan ketika terdapat perbedaan dalam memahami teks. Konon lagi ketika teks tadi diimplementasikan, perbedaan juga selalu memungkinkan terjadi.
Menanggapi kondisi ini, para ahli hukum membagi pembicaraan hukum dalam dua ruang, yakni ruang yang dinamakan dengan sesuatu yang seharusnya, dan ruang tentang sesuatu yang senyatanya. Berangkat dari konsep ini, maka perbedaan lain juga harus dilakukan. Apakah sesuatu yang dipermasalahkan itu berada pada tataran norma, ataukah ia berada pada tataran implementasi. Dalam konteks pembentukan hukum, norma itu terkait dengan bagaimana hukum itu dirumuskan dan dibentuk. Secara normatif, rumusnya sudah jelas bagaimana prosesnya, mulai dari inisiasi hingga pengesahan. Ujungnya adalah asas fictie yang diperkenalkan, bahwa semua orang tidak ada istilah berkilah tidak tahu hukum ketika suatu undang-undang sudah disahkan dan diundangkan dalam lembaran negara.
Di luar itu, masih ada kerangka implementasi –bahkan evaluasi. Ketika dilaksanakan, hukum itu menjadi sesuatu yang harus digerakkan. Ia tidak lagi sebagai kata-kata yang mati. Sebuah bunyi pasal, dalam implementasi, baru bergerak ketika keberanian penegak hukum menggunakannya. Keberanian ini pula, dalam hukum berperspektif realitas, ia bisa diarahkan ke berbagai arah. Dalam perspektif realitas, hukum sebagai sistem tidak bisa diketam dari pengaruh dan interaksi dengan berbagai subsistem dalam kehidupan.
Semua gambaran di atas, hanya untuk menegaskan betapa penjelasan itu sangat dibutuhkan, walau secara normatif, nanti akan ditentukan bagaimana posisi penjelasan itu dari batang tubuh –jika satu kesatuan akan ditegaskan dalam teks yang khusus. Betapa generasi terdahulu sudah berusaha berpikir komprehensif terhadap berbagai persoalan bangsa yang berkemungkinan muncul.
Dengan demikian apa yang ada dalam teks penjelasan sebelumnya, merupakan sebuah kesadaran bahwa kekuasaan itu tetap dibutuhkan, namun kekuasaan itu tidak boleh melampaui hukum. Walau seringkali apa yang tercantum dalam teks, tidak selalu selaras dalam realitas, maka keberadaan teks ini bisa dipahami sebagai usaha untuk menjaga bangsa dan negara.
(Keterangan Foto: seorang warga di Jakarta, duduk di samping tulisan Kembali ke UUD 1945. Foto: Evan Aditya)