Berbeda dengan rechtsstaat, the rule of law berkembang dalam tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law (hukum tak tertulis). Menurut Mhd. Shiddiq Tg. Armia, di negara-negara Anglo Saxon, konsep hukum berkembang dipelopori AV. Dicey (dari Inggris), dengan tiga tolok ukur utama: (1) supremasi hukum [supremacy of law]; (2) persamaan di hadapan hukum [equality before the law]; (3) konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perseorangan [the constitution based on individual rights] (Armia, 2003).
Sistem hukum tersebut berkembang dari tradisi Inggris dan dianut oleh negara bekas jajahannya. Menurut Soetandyo, dalam common law system, hakim –khususnya yang berkedudukan sebagai hakim agung—dibekali kewenangan judicial review. Kewenangan ini dimaksudkan sebagai ruang untuk menilai kepatutan berlakunya sebuah undang-undang. Sekiranya sebuah undang-undang dinilai tidak patut, maka bisa diterbitkan pernyataan agar hakim-hakim pada tingkat bawah tidak menggunakan undang-undang tersebut dalam menyelesaikan perkara. Di sini dikenal satu doktrin ius contra legem, hakim-hakim ini dapat membuat putusan hukum yang menurut rasa keadilannya sendiri (Wignjosoebroto, 2013).
Atas dasar itulah, maka apa yang disebut sebagai kebenaran hukum dan keadilan di dalam the rule of law, bukan semata-mata hukum tertulis. Dalam sistem ini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dalam masyarakat. Hakim yang baik di sini adalah hakim yang dapat membuat keputusan berdasarkan nilai keadilan yang digalinya dari tengah-tengah masyarakat (MD, 2012). Sebagaimana sebelumnya sudah disebutkan, bahwa karakter penting dari the rule of law adalah yudisial.
Lantas bagaimana dengan konteks kekinian di negara kita? Apakah lebih condong rechtsstaat atau the rule of law? Jika pertanyaan ini yang muncul, maka jawaban akan berbeda. Ada satu hal sudah dirumuskan dari awal dalam konteks negara hukum Indonesia dengan penegasan negara hukum Pancasila adalah pada terdapatnya ciri khas yang ada, khususnya terkait dengan posisi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Intinya adalah ada penegasan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki agama, yang tentu berbeda dengan negara-negara yang tidak beragama. Artinya kebebasan beragama berlangsung dalam ruang yang memiliki agama, bukan dalam ruang yang bebas untuk tidak beragama.
Hal lain yang harus ditegaskan sebenarnya terkait dengan bagaimana posisinya setelah amandemen. Dalam konstitusi tidak ada lagi istilah rechtsstaat. Merujuk pada apa yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara normatif, penegasan negara Indonesia adalah negara hukum, secara eksplisit ingin menegaskan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang di luar hukum dijadikan sebagai alat apapun. Semuanya tergantung pada bagaimana hukum mengatur.
Saya ingin memberi analogi jika kedua pandangan tadi dilihat bagaimana hukum formal dan hukum adat. Saya ingat bagaimana adat itu ketika diilmiahkan dengan cara pandang ilmiah sarjana Barat. Diskursus ini tidak sebatas berhenti pada hukum di wilayah tertentu dengan hukum di wilayah lain. Menarik untuk memaknai apa yang dipikirkan oleh perintis kajian hukum pribumi abad ke-20 di Indonesia, melalui Snouck Hurgjronje, Van Vollenhoven dan Bzn Ter Haar? Ternyata ada proses menggunakan kadar Barat untuk melihat hukum pribumi. Posisi tidak akan pernah ketemu ketika tidak disediakan irisan yang memungkinkan kedua wujud hukum. Jika diperdalam, yang satu dengan keinginan pencapaian kepastian dalam wujud positivisme hukum, yang lain berangkat dari hukum historis Savigny dan hukum sosiologis Eugen Ehrlich, yang berpegang pada proses bahwa hidup dan matinya hukum tergantung dari masyarakatnya.
Pertanyaannya, dengan demikian, apakah berarti negara hukum Indonesia sebagai jalan tengah untuk tidak menegaskan rechtsstaat atau the rule of law?