Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa COP itu adalah badan pembuat keputusan tertinggi dari Konvensi. Dalam badan ini, semua negara yang menjadi pihak dalam Konvensi, terwakili dalam COP tersebut. Peruntukannya adalah untuk meninjau implementasi Konvensi dan instrumen hukum lain yang diadopsi COP. Hal lain untuk mengambil berbagai keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan implementasi Konvensi yang efektif, termasuk pengaturan administratifnya.
Tugas utama dari COP adalah meninjau komunikasi nasional dan inventaris emisi yang diajukan para pihak. Sebagai sebuah konsensus internasional, tentu saja berbagai kesepakatan harus ditindaklanjuti dengan hukum nasional. Dalam pengelaman yang ada, walau negara-negara sudah menandatangani, belum tentu akan melakukan ratifikasi. Dinamika semacam ini terjadi dalam sejumlah konvensi yang ada. Kenyataannya, membicarakan tindak lanjut dari apa yang disepakati itu sendiri membutuhkan komunikasi yang baik.
Itulah antara lain keberadaan COP yang telah bertemu dalam banyak pertemuan. Sebanyak 30 COP telah berlangsung dan 19 di antaranya CMP (Sisma, 2022). Dari sejumlah pertemuan tersebut, tidak semua tercapai hasil dengan baik. Doddy S. Sukadri, misalnya, dalam satu artikelnya di Kompas, “Seperempat Abad Perundingan Perubahan Iklim”, ada tiga momentum penting yang bisa dicatat dengan baik (Sukadri, 2019). Pertama, tentu saja COP 1 yang dilaksanakan di Berlin yang membuka awal. Kedua, COP 3 tahun 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto. Ketiga, COP 21 tahun 2015 di Paris yang menghasilkan Paris Agreement. Bedanya, kalau Protokol Kyoto hanya mewajibkan negara maju mengurunkan emisi gas rumah kaca (negara berkembang hanya sukarela), sedang dalam Paris Agreement, semua negara wajib menurunkan emisi gas rumah kaca.
Saya ingin mulai dari COP pertama yang berlangsung di Berlin (Jerman) pada tanggal 28 Maret hingga 7 April 1995. Pada saat itu, sebanyak 154 negara hadir –dari 196 negara anggota COP. Pertemuan ini menghasilkan landasan penting bagi negosiasi perubahan iklim, dan fokus agenda penting dari pertemuan adalah pada komitmen negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Jika kita mundur sedikit ke belakang untuk memahami isu dari apa yang dinegosiasi terkait iklim, sudah dimulai sejak Konvensi UNFCCC disepakati PBB sejak tanggal 21 Maret 1994. Setelah itulah, proses terkait berbagai perubahan nyata yang harus dilakukan. Misalnya dalam COP 28 yang berlangsung di Dubai (Uni Emirat Arab) tanggal 30 November hingga 12 Desember 2023, tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. Bahkan dalam pertemuan tersebut, malah tidak berhasil misi mengamankan pendanaan mitigasi perubahan iklim.
Negara Indonesia sendiri termasuk dalam kategori yang dipertanyakan dari segi efektivitas penurunan emisi gas rumah kaca (Susilowati, Ahmad, Faturrahman, & Hidayat, 2022). Apa yang terjadi dari perubahan iklim, pada dasarnya menjadikan pembangunan yang tidak berkelanjutan dan hasilnya adalah bencana kemanusiaan (Pramudianto, 2016).
Dengan demikian, banyak tantangan yang seyogianya tidak dilupakan. Berbagai hal yang dihadapi dari COP ke COP tersebut, idealnya menjadi bahan pembelajaran bagi proses pemuliaan umat manusia.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.