Ada satu catatan, saya kira menarik untuk memahami masing-masing pilihan –walau setuju atau tidak berada pada ranah yang lain lagi. Dengan perbandingan itu, di sisi tertentu masing-masing kita memungkinkan untuk menilai lebih jauh dari konteks penghinaan yang secara khusus mendapat perhatian.
Pada tanggal 7 Juli 2022, Eddy OS. Hiariej menulis artikel di Harian Kompas, “Penghinaan dan Hukum Pidana”. Tentu, yang disorot dan konteksnya sebelum KUHP disahkan. Artikel ini menarik, karena selain sebagai dosen, Hiariej juga berposisi sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia –bahkan saat artikel itu dimuat ia masih menjabat.
Konteks substansi artikel berbicara saat KUHP masih RUU. Ia mulai dengan gambaran awal dalam artikel: Mengapa pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tetap ada di RUU KUHP? Menurutnya, artikel tersebut perlu ditulis agar masyarakat bisa memahami secara utuh perihal penghinaan dalam hukum pidana.
Ada tiga konteks yang dijelaskan. Pertama, soal landasan filsafati lahirnya hukum pidana, antara lain adalah fungsi perlindungan, baik terhadap negara, masyarakat, maupun individu. Salah satu yang dilindungi oleh hukum pidana adalah harkat, martabat, dan nama baik. Atas kepentingan itulah, lahir pasal-pasal tentang penghinaan yang ditujukan kepada negara, masyarakat, atau individu.
Kedua, pasal-pasal penghinaan masih tetap dipertahankan karena tiga alas an, yakni: (1) penghinaan berakibat pada pembunuhan karakter; (2) penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur; (3) penghinaan adalah salah satu bentuk malaperse atau rechtsdelicten dan bukan malaprohibita atau wetdelicten (artinya penghinaan sudfah dianggal suatu bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam UU karena melanggar kaidah sopan santun; lebih dari itu penghinaan dianggap melanggar norma agama jika dalam substansinya ada fitnah).
Ketiga, Hiariej memberi tiga catatan atas delik penghinaan, yakni: (1) delik ini sangat bersifat subjektif (penilaian terhadap penghinaan sangat tergantung pada orang atau pihan yang diserang nama baiknya, makanya ia delik aduan); (2) penghinaan delik penyebaran yang berarti substansi yang berisi penghinaan harus disebarluaskan kepada umum dan dilakukan di depan umum oleh si pelaku; (3) orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduk sesuatu yang dianggap menghina seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan membuktikan tuduhan itu.
Pada tanggal 13 Juli 2022, Zainal Arifin Mochtar mengomentari Eddy OS Hiariej, dengan tulisannya yang berjudul “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”. Zainal Arifin Mochtar adalah Ketua Departmen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UGM dan Anggota Constitutional and Administrative Law Society.
Dalam artikelnya tersebut, Zainal memulai dengan: RKUHP menuai banyak kritik, terutama terkait banyaknya ancaman pidana dalam kaitan hak menyatakan pendapat, khususnya terjadap negara dan aparatnya. Perlu terobosan mencari perspektif baru, semisal perspentif perdata.
Ada tiga hal yang saya tangkap dari Zainal Arifin Mochtar. Pertama, ia mengomentari penjelasan Wamenhumham dalam tulisan di atas, sebagai abai bahwa makin merosotnya indeks demokrasi Indonesia sebagai salah satunya karena adanya ancaman represi atas kebebasan berekspresi. Tentu saja menambak aturan berpotensi menindas kebebasan berekspresi dan diujungnya kian melemahkan indeks demokrasi.
Kedua, dengan menyentuh tulisannya terdahulu, “Legislasi nan Menyebalkan” (Kompas, 20 Oktober 2020), Mochtar menyinggung gejala negara yang seakan-akan boleh ugal-ugalan, membuat sampah demokrasi dalam bentuk aturan. Kemudian mengatakan bahwa biarkan MK yang akan menentukan benar atau tidaknya.
Ketiga, tentang dua hal utama kondisi, yakni: (1) pembentuk UU tidaklah layak bertindak sembrono membuat sampah dengan alasan ada keranjang dalam bentuk MK (ini tidak fair karena seakan menegasikan kewajiban pembentuk UU untuk memperlakukan UU secara sacral dan menegakkan demokrasi dengan membentuk UU yang menghargai negara hukum demokrasi itu sendiri); (2) gejala kondisi MK ini tengah mengkhawatirkan di tengah kepungan UU yang buruk, MK seakan abai dan malah tidak selesai dengan dirinya sendiri (MK yang diharapkan menjadi penjaga demokrasi malah dalam beberapa hal lebih berperan dan terjebak dalam pertarungan nonhukum dan kepentingan yang ada di tubuh MK itu sendiri).
Begitulah perbedaan pendapat yang terjadi. Seyogianya, perbedaan pendapat ini akan membuat kita semakin kaya dalam memahami masalah hukum tertentu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
(Sumber foto: Media Indonesia)