Sejumlah buku Profesor Satjipto Rahardjo, menyentuh dengan serius soal bagaimana perkembangan hukum berlangsung dengan sangat lambat, berhadapan dengan perkembangan masyarakat yang berubah dengan sangat cepat. Ada ungkapan hukum yang paling terkenal untuk memotret apa yang diungkapkan Satjipto Rahardjo tersebut, yakni hukum berjalan tertatih di belakang perkembangan masyarakat yang sangat cepat.
Ada satu buku menarik melihat bagaimana perkembangan ini diawal kajian hukum di Indonesia. Pada tahun 1975, Satjipto Rahadjo, menulis buku Hukum dan Masyarakat. Buku ini baru dicetak tahun 1980 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen sudah menanggap buku-buku semacam ini sangat diperlukan dalam kajian hukum waktu itu, terutama dalam rangka menjawab masalah hukum yang muncul ketika Orde Baru memperkenalkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (Rahardjo, 1980).
Sungguh perkembangan ilmu pengetahuan yang juga sangat cepat, walau dalam realitas tetap ditemui adanya para pengemban ilmu pengetahuan (baik praktis maupun teoritis) yang berkembang dengan lambat. Fenomena yang bisa saja ditemui dalam setiap era. Dalam setiap zaman.
Ada hal menarik saya temukan dalam pengantar penulis. Buku ini sudah selesai ditulis tahun 1975, namun baru dicetak pada tahun 1980. Menurut penulis, perkembangan lima tahun sangat membawa banyak perubahan dalam masyarakat terkait dengan hukum.
Dalam buku inilah diceritakan konsep awal bagaimana sesungguhnya dibangun perkembangan hukum negara yang seperti sekarang ini. Berbagai negara berkembang setelah Perang Dunia II berlomba-lomba membangun hukumnya. Basis berangkat hukum berbeda-beda. Ada yang berhasil membangun hukumnya dengan baik, namun umumnya, hukum yang dibangun adalah hukum cangkokan dari negara-negara yang sebelumnya menjajah negara tersebut.
Pada ahli sosial sendiri meyakini bahwa hukum yang demikian tidak bisa langsung dijadikan hukum negara lain. Transfer hukum tanpa penyaring justru akan mengacaukan bagaimana masyarakat yang ada di dalam negara tertentu. Namun demikian proses ini terus berlangsung. Padahal ketika hukum mau ditransfer, harus dikaji dulu bagaimana dengan transfer nilai –sesuatu yang sebenarnya juga tidak boleh dipaksakan. Masalahnya tekanan nilai ini berlangsung lewat proses yang kurang adil. Negara-negara yang dominan akan selalu mampu mendominasi negara yang tidak dominan. Tekanan nilai lain terhadap negara tertentu seolah berlangsung secara normal, padahal tidak, melainkan lewat tekanan-tekanan yang tanpa disadari.
Konsep awal pembangunan di negara kita juga demikian. Proses yang seolah tidak disadari, dengan menjadikan wajah hukum orang lain menjadi wajah hukum kita sendiri. Prosesnya melalui pembangunan, yang berlangsung dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat yang baru merdeka. Secara langsung atau tidak, pembangunan itu dilaksanakan dengan peranan ekonomi, dan –juga secara langsung atau tidak—hukum menjadi ruang untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Saya kira sudah banyak para sarjana hukum yang mengingatkan agar bangs aini membangun negara hukum sendiri. Proses ke arah itu selalu berliku dan banyak tantangan. Gagasan tentang negara hukum Indonesia yang dalam dua dasawarsa terakhir mulai muncul, lalu akhir-akhir ini semakin menguat, mudah-mudahan menjadi wajah hukum kita yang baru itu.
Wajah hukum kita juga membuka mata atas berbagai realitas. Kita harus melihat sekeliling, melalui ruang-ruang sosial, tentang apa yang terjadi dan terus berkembang. Tidak bisa berdiam dan berhenti untuk menemukan perkembangan, yang dengan itu memungkinkan hukum terus-menerus diperbaiki kualitasnya –termasuk kualitas penegakannya. Butuh mentalitas yang kuat untuk mencapai posisi tersebut. Mentalitas ini, yang kemudian bisa disebut sebagai mentalitas hukum Indonesia.