Nanggroe Warung Kopi

Pada satu malam —ketika saya masih kuliah—saat persiapan saya mau kembali ke Semarang, saya dan sejumlah senior, masih sempat duduk. Besoknya saya mau berangkat kembali ke kampus, tempat saya menempuh studi. Pilihan yang mungkin juga …

Pada satu malam —ketika saya masih kuliah—saat persiapan saya mau kembali ke Semarang, saya dan sejumlah senior, masih sempat duduk. Besoknya saya mau berangkat kembali ke kampus, tempat saya menempuh studi. Pilihan yang mungkin juga dilakukan banyak orang adalah diskusi sambil ngopi. Kebiasaan minum kopi di warung-warung, barangkali sedikit berbeda di daerah lain. Di Aceh, warung kopi itu menjadi semacam ruang untuk mengekspresikan berbagai pengetahuan, saling berbagi, resmi atau tidak resmi, formal atau tidak formal.

Saya menyaksikan banyak rapat formal yang dipindahkan ke warung kopi. Sebelumnya, pertemuan yang sakral, tidak mungkin dilaksanakan di sini, nyatanya sekarang mulai banyak dilakukan. Belum lagi diskusi yang semakin cenderung dilaksanakan di warung kopi. Fenomena terakhir inilah yang dilakukan diskusi sambil ngopi.

Fenomena semacam itu dapat saja dilakukan dalam jumlah yang banyak, atau dengan hanya satu meja saja. Orang yang ingin melaksanakan diskusi di warung kopi, tinggal memberitahukan kepada pemilik warung, dan pekerja mereka akan mengatur meja sebagaimana yang diinginkan. Pendekatan khusus yang di tempat lain sedikit tegang, di meja kopi ternyata bisa membantu. Hal-hal semacam ini yang kemudian banyak orang mulai banyak menjadikan meja warung kopi sebagai meja diskusi.

Bagi pemilik warung sendiri sudah bukan masalah. Warung yang awalnya dengan pendekatan biasa, kini semakin luar biasa. Semakin banyak diskusi, rasanya semakin bertambah pelanggan. Keuntungan bagi mereka yang berdiskusi, tentu pendengar yang berganti dan siapa saja bisa mendengar apa yang dibicarakan. Orang untuk mendengar apa yang didiskusikan, tidak perlu menunggu undangan. Warung kopi sebagai tempat terbuka, tidak mungkin menghindarkan orang lain untuk datang ke sana, yang tujuannya tentu ngopi.

Bagi kami juga demikian. Kami hanya butuh satu meja saja, karena jumlah kami yang tidak seberapa. Sekiranya ketika sedang ngobrol, ada orang yang kami kenal, lalu kami undang untuk duduk di dekat kami. Prosesnya tidak sulit. Hanya mengangkat satu kursi lagi untuk diletakkan di meja ini.

Begitulah, diskusi kami terakhir ini terkesan serius. Kami berbincang mengenai satu hal yang selama ini menjadi perhatian, yakni soal etnografi dalam penelitian. Etnografi yang kami maksudkan sebagai satu bidang ilmu yang mendeskripsikan kebudayaan. Pilihan ini tidak masalah, karena umumnya penelitian yang kami lakukan tidak lepas dari fenomena kebudayaan. Dengan materi penelitian demikian, jelas kami membutuhkan energi lebih banyak, terutama yang terkait deskripsi kebudayaan dalam masyarakat. Kami harus banyak melakukan diskusi dengan mereka yang mengakar dan mereka yang rajin mendampingi masyarakat.

Dengan harapan itu, satu hal yang kami diskusikan, bahwa titik etno, harus dilakukan lebih luas. Ia harus dikerjakan dan bergumul. Orang yang melakukan pendalaman studi dengan etno, tidak bisa berdalih cukup etnoe (cukup di sini). Ada perbedaan besar keduanya. Yang satu menelusuri data menurut apa yang terjadi, dan terkesan tidak berhenti sebelum semuanya didapatkan. Pilihan yang kedua, ditentukan oleh rasa sejauhmana kita mampu menelusurinya. Orang yang ketika berada pada satu titik jenuh, akan memadai pada etnoe.

Tentu penelitian tidak boleh demikian. Orang yang menelusuri data, apalagi apa yang dipaparkan nanti menjadi pelajaran penting bagi orang lain, harus dilakukan secara serius luar dalam. Tidak boleh berhenti sembarangan hanya gara-gara penelitinya yang merasa sudah bosan atau sudah tidak sanggup. Sekiranya kita beranjak dari pemahaman bahwa apa yang kita lakukan, semuanya merupakan proses belajar, maka sungguh sesuatu itu akan mengalir dan kita seperti memetik bunga yang tidak semua waktu ia mekar.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment