Saya ingin mulai dari apa yang menjadi catatan dari Prof. Khudzaifah Dimyati (Dimyati, 2005) dalam buku Teoritisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Buku ini, berasal dari disertasinya pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Menurutnya, dunia pemikiran hukum tidak mungkin dapat dilepaskan dari apa yang namanya situasi zaman yang melingkupinya. Masing-masing era memiliki cara pandang yang belum tentu sama atau berbeda antara satu dengan era lainnya.
Tarik menarik terjadi antara apa yang diklaim sebagai “hukum khas Indonesia” dan sistem hukum modern –yang sebagian pihak menganggapnya sebagai kelanjutan dari pemikiran hukum kolonial. Walau pilihan hukum waktu itu, pada pemikiran hukum modern, oleh sebagian ahli hukum tetap dianggap ia sebagai bagian dari sistem hukum nasional.
Sebagaimana juga Daniel S. Lev yang mengingatkan dialektika pemikiran hukum selalu berkorelasi dengan zamannya (Lev, 2005), maka apa yang disebut sebagai pilihan hukum, pada akhir harus dianggap sebagai sebuah proses, yang akhirnya menjadi bagian dari usaha pencapaian tujuan bernegara dalam makna yang lebih luas.
Peneguhan orientasi hukum dan cara berhukumnya dalam konteks Indonesia telah terjadi dan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Apa yang membedakan antara keseyogiayaan hukum di Indonesia dan bukan Indonesia? Ada penekanan dalam putusan apapun terkait hukum, tidak boleh dipisahkan dari kepercayaan rakyatnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kondisi ini berbeda dengan berbagai sistem hukum di manapun. Hukum khas Indonesia, harus diingat selalu bermuatan akan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jelas ada penegasan dalam sistem hukum Indonesia yang tidak terpisahkan dari kepercayaan dan agama. Kondisi inilah yang membuat hukum melibatkan rasa dan budaya dari manusianya. Rasa itu terkait dengan malu dan takut jika berbuat salah dan melanggar. Tidak saja malu kepada sesama manusia, melainkan juga merasa ada sesuatu yang lain hadir di benak terkait kepercayaan.
Saya kira posisi inilah, jika orang Indonesia ingin mengklaim perbedaannya dengan hukum yang liberal –hukum yang tidak membawa perasaannya ke dalamnya. Hukum ya hukum, tidak melibatkan selain hukum terhadap hukum –peraturan perundang-undangan. Dengan konsep demikian, maka nilai keadilan pun ditolak. Pelaksanaan hukum dianggap tidak ada hubungan dengan ia akan adil atau tidak. Karena hal adil atau tidak, itu harus dipisahkan dari hukum. Akan tetapi bukankah sebagian filsuf justru berdebat tentang keadilan dan hukum? Ada filsuf yang menyebut bukanlah hukum ketika ia tidak bisa adil? Tetapi inilah corak pemikiran yang dalam lingkungan para filsuf pun terus berkembang. Berbagai hal yang dipikirkan pada suatu masa, kemudian dikunyah-kunyah oleh mereka yang berada pada era yang lain.
Berbagai perbedaan yang terjadi tidak mungkin dipisahkan dari berbagai hal tersebut. Siapa pun akan menjadikan apa yang terjadi dalam kehidupannya sebagai hal yang turut menentukan dalam potongan-potongan pemikiran. Termasuk yang terkait dengan isu-isu keadilan, yang dapat disebut sebagai tantangan dan era.
Tantangan inilah yang sangat berat, ketika tekanan perkembangan hukum yang melampaui teritorial nasional, berpotensi untuk melupakan orientasi keadilan tersebut. Hukum yang adil itu akan teguh dan tidak berubah wajah ketika berhadapan dengan stratifikasi masyarakatnya yang berbeda. Namun pertanyaannya, adakah hukum yang demikian, dalam realitas?
Banyak orang meragukannya. Ketika digerakkan oleh struktur hukum, wajahnya juga jangan berubah dengan berbagai kepentingan yang ada (Rahardjo, 2006; Rahardjo, 2010). Mereka yang menggerakkan hukum, jangan gentar ketika berhadapan dengan mereka yang punya modal dan kuasa, sekaligus dapat menampakkan wajah lembutnya ketika berhadapan dengan rakyat kecil. Tidak sebaliknya. Ketika berhadapan dengan mereka yang punya kuasa uang dan politik, mereka yang menegakkan hukum terlihat lembek dan meleleh. Namun ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang dilakukan rakyat kecil, mereka terlihat garang, segarang-garangnya. Ketika menangkap pencuri kecil, tidak segan menggunakan pola bam-bum, seoleh menjadi penegak hukum yang sangat hebat. Namun ketika berhadapan dengan koruptor hebat, menyambutnya dengan kedua tangan terbuka.
Hukum jangan mengalami disorientasi semacam itu. Apa yang disebut sebagai fair dapat mewujud dalam perilaku manusianya. Sedih sekali ketika melihat para pencuri sandal jepit dikejar-kejar dengan alasan kepastian hukum, sementara para koruptor yang kedapatan diterima dengan sambutan yang luar biasa.
Hukum jangan begitu. Hukum harus teguh walau berhadapan dengan kekuatan yang angkuh. Hukum juga tidak boleh kendur, ketika berhadapan dengan mereka yang subur. Semuanya harus bergerak sesuai dengan adagium hukum, bahwa hukum akan tetap tegak walaupun apapun yang terjadi.
Orientasi dalam hukum dan berhukum sebagaimana disebut di atas, tidak boleh lupa. Dengan adanya nilai yang harus mewarnai di dalamnya. Itulah hukum kita, seyogianya, yang dalam realitas kerap kalah dengan berbagai subsistem lainnya. Dalam pemikiran, hukum yang berdasarkan ketuhanan, idealnya menjadi kekuatan bagi pencapaian tujuan-tujuan besar hukum dalam konsep dan konteks negara hukum. Akan tetapi memungkinkan konsep itu dapat dipegang teguh? Hukum yang berketuhanan, memosisikan bedanya dari hukum-hukum –bahkan negara hukum yang lain.