Saya hanya ingin mengulangi sekilas tentang Novel Les Miserables yang menyita jagad kepengarangan. Orang akan tegas: fiksi tetap fiksi. Tapi karya ini diselesaikan di pengasingan dalam masa lebih 10 tahun. Abad ke-19 ada karya yang diterbitkan dengan berbagai bahasa. Dan seperti orang-orang sekarang menunggu karya fiksi mutakhir lainnya, Victor Hugo telah menjadi pencatat kisah penting di jagad. Pelajaran yang bisa diambil, barang kali pada hukum yang harus dioperasionalkan dengan baik. Seseorang yang mencuri karena kepentingan lain, semacam lapar, tidak dihiraukan. Pencuri tetap harus dihukum, dengan alasan apapun.
Dalam masyarakat tertentu, konsep mencuri atau bukan mencuri juga bisa berbeda. Hal ini bisa kita lihat bagaimana seseorang yang bernama Minah yang memetik buah coklat, dihukum dengan menggunakan Pasal 362 KUHP. Dalam masyarakat dimana Minah tinggal, tidak semua barang yang diambil dapat dikategorikan memenuhi unsur pencurian sebagaimana kepentingan perusahaan pemilik. Atau bagaimana kasus buah randu yang diambil dari sisa panen, yang oleh perusahaan perkebunan randu dipermasalahkan dan orang seperti Masinih dan Rusnoto dihukum dengan pasal 363 KUHP. Padahal dalam masyarakat, hasil sisa panen diambil sedikit, yang harganya tidak seberapa,dianggap bukan sesuatu yang patut dipermasalahkan.
Hukum yang mengejar kepastian, seringkali abai untuk mengungkit berbagai masalah di sekelilingnya itu. Novel yang diceritakan Hugo, adalah menyangkut tokoh utama, Jean Valjean yang telah sukses dan menyembunyikan identitas, ternyata membawa korban bagi orang lain. Ada orang yang dihukum dengan sesuatu yang dilakukan Jean Valjean. Kondisi inilah yang mengguncang psikologisnya, dengan gejolak batin antara mengaku dan membuka identitasnya atau tidak. Pada akhirnya memang ia memilih membuka, dengan meninggalkan semua yang telah diperoleh.
Kisah semacam ini juga pernah terjadi dalam masyarakat kita. Tahun 1974, sepasang suami-istri Sulaiman dan Siti Haya dirampok dan dibunuh di Bojongsari (Bekasi). Orang yang disangka melakukan perbuatan ini adalah Sengkon dan Karta. Tahun 1977, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai apa yang disampaikan polisi, yang memvonis Sengkon 12 tahun dan Karta 7 tahun. Putusan ini dikuatkan pula pada tingkat banding. Di dalam penjara, Sengkon dan Karta bertemu Genul, keponakan Sengkon yang dihukum karena kasus pencurian. Di dalam penjara, ia mengaku sebagai pelaku yang membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Tahun 1980, Genul dijatuhi 12 tahun. Apa yang terjadi dengan Sengkon dan Karta? Mereka juga tidak bisa bebas.Akhirnya perjuangan Albert Hasibuan sebagai anggota DPR dan pengacara, dengan daya Ketua Mahkamah Agung waktu itu, Ormar Senoadji, tahun 1981 Sengkon dan Karta dibebaskan.
Dalam Tempo, 29 September 1984 dikisahkan, Sengkon dan Karta sebenarnya menuntut ganti rugi atas salah hukum. Ia menuntut Departemen Kehakiman cq Pengadilan Tinggi Jawa Barat cq Pengadilan Negeri Bekasi untuk membayar ganti rugi sebesar Rp100 juta. Juli 1981, gugaan itu ditolak Pengadilan Negeri Bekasi dengan alasan pengadilan tidak dapat ‘mengadili dirinya sendiri’.
Kasus lain menimba Risman Lakoro dan Rostin Mahaji yang divonis tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Tilamuta pada tahun 2002, dengan tuduhan membunuh anak gadisnya, Alta Lakoro. Apa yang terjadi? Tanggal 26 Juni 2007, Alta Lakoro datang ke kampung mereka Desa Modelomo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalema Gorontalo. Anaknya itu minggat karena dihukum. Namun polisi menciduk pasangan ini, yang kemudian pengadilan memutus dengan Pasal 170 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP. Dalam posisi ini sendiri, tidak lantas membuat kasus langsung selesai. Proses hukum yang panjang tetap harus dijalani.
Lalu, siapa yang tidak tahu kasus yang menimpa kasus pembunuhan Muhammad Asrori di Jombang? Pelaku yang dituduhkan adalah Devid Eka Proyanti, Imam Hambali, dan Maman Sugiyanto. Mei 2008, pengadilan memvonis Devis 12 tahun penjara, Hambali 17 tahun, dan Maman masih dalam proses pengadilan waktu itu. Lalu muncul seseorang yang bernama Very Idam Henyansyah alias Ryan yang mengaku membunih berantai 11 orang. Nyatanya, walau sudah dipastikan dengan DNA, proses hukum pelaku tetap tidak bisa langsung dihentikan.
Kasus-kasus di atas tergolong serius karena kesalahan terjadi secara berlapis. Ada pada tahap penegakan hukum di penyidik, yang dilanjutkan oleh kejaksaan yang membuat tuntutan, dan hakim yang memutuskan perkara. Kenyataannya kesalahan berlapis itu terjadi. Kesalahan berlapis semacam ini pula, mengingatkan saya betapa dalam hukum dan berhukum, orang bersalah dengan orang yang tidak bersalah itu sangat tipis posisinya. Dalam hukum ada kredo, melepaskan seribu orang yang tidak bersalah malah belum sebanding dengan menghukum satu orang bersalah. Namun dalam realitas berhukum, orang yang tidak bersalah sudah dihukum berulang kali terjadi.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.