Novel Les Moserables (bahasa Perancis, yang bermakna “Orang-orang Celaka”) yang ditulis seorang Perancis, Victor Hugo (1802-1885). Hugo, pada masanya adalah orang yang beroposisi dengan Napoleon III, sehingga ia diasingkan. Novel ini justri diselesaikan dalam masa pengasingannya di Pulau Guernsey. Dengan posisinya sebagai penulis puisi, novelis, dan penulis naskah drama, bagi orang-orang kampus menganggapnya sebagai titik tolak bagi gerakan romantisisme.
Novel Les Moserables ini diterbitkan pertama 1862 oleh A Lacroix, Verboeckhoven & Cie. Novel ini terkenal, dengan banyak diterbitkan ulang dengan sejumlah bahasa. Di Indonesia, novel ini kemudian diterbitkan Bentang Pustaka tahun 2006, yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia. Cerita novel ini mirip dengan kisah sejumlah peradilan sesat di negara kita. Tokoh, seorang bernama Jean Valjean dihukum kerja paksa selama 19 tahun karena mencuri sepotong roti.
Berkali-kali mencoba lari, namun gagal, hingga suatu kali ia berhasil karena ditolong oleh orang lain. Pengembaraan yang kemudian menjadikannya sebagai pengusaha, namun identitasnya disembunyikan dalam pelarian. Ia pernah begitu penuh dendam, namun bertobat setelah bertemu Monsinyur Myriel –seorang uskup yang berhati mulia. Nahas bagi Valjean, secara tidak sengaja ia melakukan kesalahan kecil sehingga diburu Inspektur Polisi Javert. Saat itulah ia menggantu nama menjadi Monsieur Madeleina dan berhasil menjadi wali kota di sebuah kota kecil. Bahkan ketika sedang sukses, ada orang lain yang dituduh melakukan kejahatan atas namanya Jean Valjean –yang berubah menjadi Monsieur Madeleina. Demi menyelamatkan nyawa seorang yang tak bersalah, tapi ditangkap dengan tuduhan dan atas perkara yang dilakukan Valjean, akhirnya ia menyerah dan membuka identitas. Dalam kasus ini, Valjean sendiri berhasil melarikan diri dan mengadopsi seorang anak tak sah dari Fantina yang bernama Cossete. Fantine sendiri sebagai seorang perempuan miskin yang pernah ditolong Valjean.
Kisah sepotong roti ini yang sering menjadi kutipan dalam menegakkan hukum. Jean Valjean mencuri sepotong roti karena lapar, namun apes baginya ditangkap polisi. Hukum pidana yang berlaku, tidak berusaha mendengar kabar dan menyoal mengapa ia mencuri. Barang milik pengusaha roti harus diselamatkan. Hukum sering tidak peduli seberapa besar barang yang dicuri. Namun yang penting adalah ada sesuatu yang dicuri dengan maksud memiliki. Di samping itu, hukum juga tidak mempertimbangkan alasan apa seseorang itu mencuri.
Isi yang menggugah ini, sering kali diceritakan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto di dalam kelas-kelas hukum yang pernah saya ikuti. Sejumlah kesempatan dan sejumlah tempat, saya berkesempayan ikut kuliah beliau. Termasuk pelatihan-pelatihan keilmuan penting terkait dengan sosio-legal. Bahkan bukunya, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (2002), novel ini diceritakan editor di awal pengantarnya. Adanya catatan penting demikian bukan tanpa dasar. Ketika hukum dikaitkan dengan sejumlah konteks sosial, maka berbagai dinamika dan potret di dalamnya tidak mungkin diabaikan.
Bagi sebagian orang, novel tetaplah ia sebagai novel –seberapa pun dekat kisahnya dengan kehidupan kita. Walau dalam banyak kisah, pidana menjadi pintu utama dalam memastikan apa pun yang dikehendaki kekuasaan negara, bisa jalan dengan baik. Hukum pidana itu, yang dipakai dari waktu ke waktu, sudah berkembang sedemikian rupa. Code Penal yang terbentuk di Perancis tahun 1791, tidak mungkin terlepas dari setting novel di atas. Apalagi kemudian, Napoleon sebagai penguasa, mengubah Code Penal tersebut. Code ini yang mewarisi Belanda sejak 1811, yang sejak tahun 1881 berlaku Wetboek van Strafrecht –sebuah kitab undang-undang yang kemudian menjadi kitab undang-undang hukum pidana di negara kita.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.