Antroposen dan Antroposentrisme

Secara kongkret saya mendapatkan penjelasan tentang perbedaan antara antroposen dengan antroposentrisme dari satu artikel yang ditulis oleh Rangga Kala Mahaswa, “Status Manusia dalam Antroposen”. Maksud saya, keduanya dibahas bersama-sama. Pembahasan ini, tentu saja terjadi dengan …

Secara kongkret saya mendapatkan penjelasan tentang perbedaan antara antroposen dengan antroposentrisme dari satu artikel yang ditulis oleh Rangga Kala Mahaswa, “Status Manusia dalam Antroposen”. Maksud saya, keduanya dibahas bersama-sama. Pembahasan ini, tentu saja terjadi dengan tujuan dari artikel tertentu yang dituliskan –umumnya dikaji oleh para pembelajar filsafat.

Dengan merujuk pada Crutzen, yang memperkenalkan istilah antroposen kepada dunia geologi, sebagaimana ditulis Crutzen dan Stoermer dalam artikel “The Anthropocene” yang dimuat Global Change Newsletter (41). Antroposen menempat manusia sebagai penanda waktu di geologis di saat manusia telah memiliki andil terhadap perubahan bumi. Antroposen berpegang teguh pada kondisi bumi yang semakin fluktuatif dan sulit diprediksi (Mahaswa, 2019).

Mahaswa mengajukan tiga tesis kuat bukti antroposen. Pertama, ia mengistilahkan ‘intervensi manusia awal’ yang terbagi dalam fase: penemuan api; kemunculan teknik, berburu, meramu; domestikasi hewan dan tanaman; semangat eksplorasi dunia baru. Kedua, revolusi industri memberikan dampak pada percepatan penggunaan bahan bakar fosil yang disertai perubahan sosial manusia secara progresif (Mahaswa, 2019).

Dalam artikelnya di Kompas, “Masyarakat Antroposen”, yang mengaitkan secara lebih luas tentang kondisi perubahan iklim, Rangga Kala Mahaswa menyebutkan, secara reflektif, masyarakat antroposen memberdayakan cara pandang tentang situasi terkini dengan merujuk pada relasi keretakan ekologis antara dunia kehidupan (life-world); persepsi sosio-kultural, dengan bumi (earth; sebagai latar habitat hunian spesies) yang semakin lebar (Mahaswa, 2022). Kita perlu menghindari prinsip romantisme ekologi bahwa manusia pernah memiliki keseimbangan dengan alam di masa lampau. Dalam artikel dijelaskan, sejarah masyarakat antroposen menjadi titik balik narasi tentang posisi sentral manusia yang memiliki adil terhadap perubahan kondisi perubahan situasi keplanetan terkini yang tidak terlepas dari segala aktivitas antropogenik masa lalu (Mahaswa, 2022).

Secara etimologis, antroposen berasal dari Bahasa Yunani Antik, dari kata “antropos” (yang berarti manusia) dan “sen” dari kainos (yang berarti baru atau terkini) (Mahaswa, 2019). Menurut Yadvinder Malhi, antroposen, konsep bahwa bumi telah bergerak dalam zaman geologi baru yang ditandai dengan dominasi manusia atas sistem planet. Cara pandang ini secara akademis diperdebatkan, namun juga berkembang dalam konteks semangat budaya dan kebijakan yang lebih luas (Malhi, 2017). Secara metodologis, ia juga terus didebat. Hal ini berdampak secara formal keilmuan, antroposen sendiri masih belum selesai.

Sedangkan istilah satu lagi, yakni antroposentrisme, berbeda dengan antroposen. Antroposentrisme adalah paham yang memusatkan manusia sebagai kenyataan tertinggi daripada yang lain atau sudut pandang kenyataan yang berpangkal karena adanya manusia secara ekslusif (Mahaswa, 2019). Selama ini, istilah antroposentrisme lebih sering digunakan dalam kajian etika lingkungan. Antroposentrisme digunakan untuk menghadap-hadapkan dengan ekosentrisme.

Dalam pemahaman sederhana posisi antroposentrisme, alam sebagai sesuatu yang sekedar untuk dimanfaatkan oleh manusia sebagai pusatnya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment