Bukan Hukum yang Minus Kultur

Saya masih terngiang-ngiang apa yang dituliskan oleh Daniel S. Lev. Negara baru mewarisi banyak hal dari negara kolonial. Padahal kemerdekaan yang diraih dan diproklamirkan, bukanlah pemberian, melainkan hasil perjuangan. Mentalitas dan semangat ini, idealnya juga …

Saya masih terngiang-ngiang apa yang dituliskan oleh Daniel S. Lev. Negara baru mewarisi banyak hal dari negara kolonial. Padahal kemerdekaan yang diraih dan diproklamirkan, bukanlah pemberian, melainkan hasil perjuangan. Mentalitas dan semangat ini, idealnya juga ada dalam hukum. Daniel S. Lev menulis, kerapkali negara mampu tidak mampu mengganti total perangkat hukum yang ada pada masa kolonial. Dalam kasus Indonesia, sejak kemerdekaan hingga sekarang, masih ada dan terasa sisa-sisa tertib hukum kolonial, terutama struktur dan substansi (Lev, 2013). Padahal dengan tanpa mengikutsertakan kultur sekali pun, kondisi bangsa berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton (Wignjosoebroto, 1994).

Buku yang juga terkenal di kalangan peneliti hukum, yang ditulis Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, memberikan gambaran penting tentang apa yang disebutkan di atas. Merujuk pada sejumlah literatur, ada kerumitan dan kesulitan dalam keilmuan hukum kita.

Sistem hukum asing, yang kemudian diintroduksi tersebut, merupakan sistem hukum Eropa. Sebenarnya di awal kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum untuk dipilih. Para advokat dan sejumlah besar cendikiawan menginginkan corak Eropa yang berlaku masa kolonial. Akan tetapi yang menang adalah sistem hukum yang semasa kolonial diperuntukkan bagi golongan Indonesia (asli), yang dimuati dengan alat hukum dan secara lebih halus, dimuati dengan anggapan-anggapan politik, dengan mana Indonesia diatur di masa Hindia Belanda (Lev, 2013).

Sejumlah catatan ini saya membacanya berulang. Kondisi yang sepertinya bukan kekhilafan, namun disadari oleh bangsa Indonesia. Timbul pertanyaan mengapa perubahan mendasar tidak segera diperkenalkan, setidaknya dalam bentuk rancangan asas-asas pokok yang baru untuk dikembangkan rinciannya di kemudian hari. Menurut Daniel S. Lev, di awal-awal kemerdekaan, yang menang justru yang berpihak pada sistem hukum kolonial yang berlaku bagi golongan Indonesia (Lev, 2013).

Lahirnya KUHP baru pada tahun 2023, menjadi angin segar bagi keilmuan hukum kita. Apalagi dalam penjelasan disebutkan salah satu semangat penting dari pembaruan hukum memutus mata rantai hukum kolonial. Tentu saja untuk proses itu tidak sederhana. Ada politik pembangunan hukum yang mengiringi dan tidak boleh dilepaskan berjalan sendiri-sendiri. Ada dua permasalahan politik hukum pembangunan hukum nasional, yakni: (1) memperbarui atau mengganti peraturan hukum dari masa kolonial yang masih berlaku; (2) menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 (Arinanto, 2006). Proses tersebut dinilai sangat mendesak. Sudah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, tetapi sistem hukum masih diwarnai kultur hukum kolonial (liberal dan individualistik). Padahal suatu bangsa tidak dapat melepaskan diri dari konteks manusianya karena hukum ada dan diperuntukkan untuk kehidupan manusia (Maroni, 2012).

Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri (Pujirahayu, 2001). Atas dasar itulah, gagasan sistem hukum nasional — sebagai penyangga negara hukum Indonesia —mendesak untuk dikaji dan dikembangkan sebagai model baru dari pada warisan kolonial. Menurut Barda Nawawi Arief, ahli pidana yang memiliki gagasan pembaruan hukum, sistem hukum nasional yang dimaksudkan di atas, merupakan satu kesatuan berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari legal substance, legal structure, legal culture (Arief, 2009).

Makna lain dari segenap gagasan tersebut, bagi saya adalah soal hukum yang tidak berpisah dengan kulturnya. Tetapi pertanyaan penting tetap muncul: entah kapan itu akan menjadi kenyataan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment